Posts

Showing posts from 2019

Birokrasi Jangan Hilang Empati

Hanya mesin yang tak punya rasa empati Seorang petani menggunakan mesin traktor untuk membajak sawah. Maka sudah pasti sang petani amat dimudahkan, sawah yang dibajak menjadi gembur dengan cepat. Walau begitu, sang petani tetap menjadi pengontrol mesin traktor itu, ia tetap bisa mengarahkan traktor ke bagian lahan yang akan digemburkan. Lain lagi di sebuah kota, seorang ibu rumah tangga menggunakan mesin cuci otomatis. Ia tak perlu lagi mengeluarkan tenaga untuk menimba air, mengucek baju, lalu memerasnya untuk dijemur. Ia hanya perlu mencolok kabel listrik dan menekan beberapa tombol untuk membuat baju keluarganya bersih. Betapa mudahnya. Hingga suatu ketika, sang petani dan ibu rumah tangga itu menghadapi sebuah kejadian yang tidak diinginkan. Mata sang petani tiba-tiba silap, hingga traktornya hampir menabrak anaknya yang bermain di sawah. Begitu juga dengan ibu rumah tangga, anak balitanya bermain di dekat mesin cuci yang menyala, hingga jatuh dan terperangkap di dal

Mengapa Kita Enggan Bertanya Di Perkuliahan?

‘ Ada yang ingin bertanya? ’ Seorang moderator melemparkan kalimat di atas, setelah tiga pemateri selesai menyampaikan bahan diskusi. Namun, kalimat tanya itu tak berbalas. Di antara puluhan peserta diskusi yang datang, tak satu pun yang mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan itu. Sejenak, semua orang jadi diam. Hening. Hingga beberapa saat kemudian, salah satu pemateri berguyon bahwa kalimat ‘ada yang ingin bertanya’ termasuk dalam daftar pertanyaan yang sangat ditakuti. Pemateri itu bilang, pertanyaan tadi bisa membuat jantung berdegup kencang, sebab kepala dipenuhi pertanyaan atau pendapat yang hendak disampaikan tapi terus ditahan-tahan. Semua tertawa. Suasana jadi cair. Satu peserta pun acungkan tangan, dan mulai bertanya. Tapi, hingga acara usai, goyonan dari sang pemateri terus dilontarkan dan menyindir semua peserta dikusi. Suasana ini memang jamak dijumpai. Seperti di seminar, talkshow, dialog public, workshop pelatihan hingga di ruang kelas perkuliahan. Seba

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Image
Belajar Merdeka Sejak Hati Foto: dokumentasi pribadi Siapa yang menyangka Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dulunya pernah menjadi anak jalanan, penjual es lilin, petinju dan bahkan ikut dalam geng motor. Saya pun baru tahu semua itu, setelah membaca biografi Lafran Pane yang ditulis dengan gaya novel oleh Ahmad Fuadi. Merdeka sejak hati. Itulah judul novel biografi Lafran Pane. Sebuah judul yang sangat pas mengambarkan karakter Lafran dalam buku ini. Sebab sepanjang 356 halaman, novel biografi ini menyiratkan pesan kuat perihal perangai merdeka Lafran Pane; merdeka raga, merdeka jiwa dan merdeka hati. Sejak dari kecil, Lafran telah menampakkan karakter bebas merdeka, tidak ingin diatur-atur. Salah satu adegan yang menyiratkan hal itu ketika Lafran diajak tinggal di rumah neneknya dari pihak ibu. Tapi, Lafran kecil tak mau, bukannya ia tak sayang pada neneknya, ia hanya tak tahan pada banyaknya aturan di rumah neneknya. “Nenekku pernah pula mengaj

Pohon dalam Dua Cerita

Image
Foto: Pangeran P Muda. Setiap karya sastra tentu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Lewat medium tulisan, seorang penulis akan berkomunikasi dengan pembaca. Tentu saja sang penulis ingin menyampaikan ide, gagasan dan hasil perenungan mengenai kenyataan di sekitarnya. Tiga hal itu akan tersampaikan ke pembaca jikalau penulis mengemas karyanya dengan menarik dan apik. Pesan seorang penulis yang tersirat dalam karyanya, biasanya, akan mencerminkan nilai-nilai, kecenderungan pemikiran dan pandangan hidupnya. Namun, karya sastra dapat juga menjadi upaya penyampian keresahan-keresahan dan kemuakkan penulis pada lingkungan sekitarnya atau suatu hal. Selain itu, penggambaran dalam karya sastra juga bakal memuat simbol-simbol yang sengaja ditampilkan agar pembaca dapat menangkap pesan dari sang penulis. Karya sastra yang baik, akan menampilkan pesan universal. Pesan yang dapat dipahami semua kalangan. Isi pesan-pesan itu dapat memuat berbagai tema, seperti kemiskinan, kemanusi

Rumah Pohon

Image
Foto: dokumentasi pribadi Bibirnya ditekuk. Kepalanya teleng ke kanan, sambil ditopang tangannya yang disandarkan ke pintu mobil. Matanya yang sendu itu tak berhenti melihat ke luar jendela mobil. Menatap kendaraan yang disalip dan mendahului. Menatap rumah-rumah dan deretan toko juga papan reklame yang seolah bergerak meninggalkan mobil. Ia, yang punya tatapan kosong ke luar jendala, sudah begitu sedari tadi. Sejak berangkat satu jam lalu, posisinya sama sekali tak berubah. Orang tuanya yang duduk di kursi depan coba mengajaknya berbincang. Tentang peristiwa di sekolah yang membuat hari-harinya terasa kelam. Tentang tiga kawannya yang membuat ia begitu kecewa, hanya karena beda pendapat dan tak ada yang mendukungnya. Hingga senyum cerianya hilang dari wajahnya. Dan berganti jadi bulan sabit yang dikelilingi awan mendung. Murung. “Nak, kau tahu, mengutarakan rasa kecewa dan gelisah itu bisa membuat kita jadi lebih plong, lebih lega. Memendam hal seperti itu, apalagi da

Resensi Novela Omong Kosong yang Menyenangkan - Robby Julianda

Image
Suara Perempuan di Omong Kosong yang Menyenangkan  Foto: dokumentasi pribadi Penyampaian suara kaum perempuan lewat medium karya sastra bukanlah hal baru di Indonesia. Beberapa penulis perempuan sudah sering mengangkat pemikiran mengenai kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dalam setiap karyanya. Nh. Dini, Ayu Utami, Dewi Lestari, Leila S Chudori dan Yetti A. KA adalah segelintir nama penulis yang telah melakukan hal itu. Sebelum nama-nama tersebut hadir, karya sastra di Indonesia memang lebih menampilkan sosok perempuan sebagai tokoh inferior dan termarginalkan. Seperti roman ‘Sitti Nurbaya’ (1922) yang ditulis oleh Marah Roesli, yang menampilkan kuatnya budaya patriarki di Indonesia, khususnya di masyarakat Minang. Tapi, bukan berarti penulis laki-laki Indonesia tidak menampilkan suara dari kaum perempuan. Sebuah novel berjudul ‘Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur’ (2003), yang ditulis oleh Muhidin M Dahlan juga menampilkan suara perlawanan perempuan atas konsep cinta,

Akar Problem Masyarakat Nelayan

Image
Foto: Dokumentasi pribadi Momentum Hari Nelayan Nasional, 6 April 2019 ini sejatinya menyadarkan kita semua. Mereka yang berkontribusi memenuhi kebutuhan protein kita, juga butuh atensi. Hari Nelayan Nasional bertujuan untuk mengapresiasi para nelayan yang menggantungkan hidup pada hasil laut. Tentu, ini harus disambut dan dirayakan. Hal itu dilakukan sebelum gempita pesta demokrasi menenggelamkan suara dari masyarakat nelayan, yang kebanyakan hidup di pinggir laut dan pulau-pulau kecil. Sebab, 17 April nanti, pemimpin negeri dan para wakil rakyat akan dipilih. Masyarakat nelayan memang sering tidak menjadi pembahasan utama dalam adu gagasan dan kampanye janji para calon pemimpin negeri dan calon wakil rakyat. Isu mengenai petani, buruh, aparatur sipil negara dan kelompok masyarakat lain lebih sering terdengar, daripada isu mengenai masyarakat nelayan. Padahal, masyarakat nelayan memiliki probelematikanya tersendiri. Hal itu mengingat karakteristik masyarakat nelayan ya

Resensi Novel Kambing dan Hujan – Mahfud Ikhwan

Image
Foto: dokumentasi pribadi Berbeda bukan berarti tidak bisa berdampingan. Berbeda juga tidak lantas membuat kata bersama jadi mustahil terjadi. Karena dengan bersama, kita semua jadi tahu bahwa hal-hal yang beda itu nyata adanya. Kira-kira begitulah pesan yang saya tangkap selepas membaca novel Kambing dan Hujan, anggitan Mahfud Ikhwan. Novel setebal 380 halaman ini tentu tidak dapat dikatakan karya yang biasa saja. Cap sebagai pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014 jadi jaminan bahwa Kambing dan Hujan bukan karya yang sembarangan. Kambing dan Hujan adalah sebuah roman. Roman yang menceritakan kisah yang agak mirip dengan Romeo dan Juliet. Dimana dua individu dari dua kelompok berbeda yang saling jatuh cinta. Keduanya pun mesti melewati berbagai halangan untuk bisa bersama. Dan tentu saja halangan terbesar datang dari latar belakang kelompok mereka. Tapi saya menyarankan agar kalian jangan membayangkan Kambing dan Hujan bakal berakhir tragis seperti kis

Pedagang di Trotoar Pinggir Jalan

Image
Foto: dokumentasi pribadi Plak. Sebuah kartu domino dibanting di atas meja. Bersamaan dengan itu, seseorang tertawa puas. Tiga orang lain yang ada di dekatnya tampak mengeluh. Di tangan ketiga orang yang mengeluh itu, masih memegang kartu domino. Salah seorang diantaranya tampak ditertawakan. Pasalnya, kartu yang ia pegang adalah double enam, nominal paling besar dalam permainan domino. “Hahaha, kenapa kau simpan terus itu rel kereta-kartu double enam-.” “Gara-gara kalian halangi, jadi saya simpan ki, hahaha” Keempat orang itu memang sudah sedari tadi asyik main kartu. Selepas magrib, mereka sudah berkumpul. Yang tertawa puas bernama Ruddin. Yang ditertawakan ialah Kasman. Sedang sisanya ialah Ralla dan Nompo. Mereka berempat adalah para pedagang di atas trotoar di pinggir jalan utama kota. Ruddin adalah yang tertua dari mereka. Setahun lagi, usianya genap enam puluh tahun. Dari mereka berempat, Ruddin pula yang pertama berjualan di atas trotoar di pinggir jalan