Akar Problem Masyarakat Nelayan


Foto: Dokumentasi pribadi
Momentum Hari Nelayan Nasional, 6 April 2019 ini sejatinya menyadarkan kita semua. Mereka yang berkontribusi memenuhi kebutuhan protein kita, juga butuh atensi.

Hari Nelayan Nasional bertujuan untuk mengapresiasi para nelayan yang menggantungkan hidup pada hasil laut. Tentu, ini harus disambut dan dirayakan. Hal itu dilakukan sebelum gempita pesta demokrasi menenggelamkan suara dari masyarakat nelayan, yang kebanyakan hidup di pinggir laut dan pulau-pulau kecil. Sebab, 17 April nanti, pemimpin negeri dan para wakil rakyat akan dipilih.

Masyarakat nelayan memang sering tidak menjadi pembahasan utama dalam adu gagasan dan kampanye janji para calon pemimpin negeri dan calon wakil rakyat. Isu mengenai petani, buruh, aparatur sipil negara dan kelompok masyarakat lain lebih sering terdengar, daripada isu mengenai masyarakat nelayan.

Padahal, masyarakat nelayan memiliki probelematikanya tersendiri. Hal itu mengingat karakteristik masyarakat nelayan yang tidak bisa disamakan dengan masyarakat perkotaan ataupun masyarakat pedesaan. Walau ada juga nelayan yang berdomisili di dalam teritori pedesaan, namun karakteristik mereka tidak dapat disamakan dengan masyarakat pedesaan.

Punggawa-Sawi

Kehidupan masyarakat perkotaan memiliki basis ekonomi yang mengandalkan industri barang dan jasa. Berdasarkan basis ekonomi itu, masyarakat kota pun terbagi dengan pembedaan (diferensiasi) pekerjaan yang beragam. Setiap anggota masyarakat kota memiliki spesialisasi pekerjaan, seperti buruh, karyawan, manager, dokter dan lain sebagainya. Banyaknya jenis pekerjaan itu tentu dipayungi oleh kelembagaan/institusi formal yang telah diakui pihak berwenang.

Sedangkan masyarakat pedesaan, selalu identik dengan mata pencaharian utama di bidang agraris (pertanian, peternakan, kehutanan) yang hubungan antar warganya bersifat intim dan informal. Dalam kehidupan ekonomi seperti itu, masyarakat desa boleh dikata masih cenderung homogen dan belum mempunyai pembedaan pekerjaan. Selain itu, hasil usaha dari pekerjaan masyarakat desa relatif bisa diterka, artinya, kepastian pendapatannya telah bisa diperhitungkan sebelumnya.

Disinilah letak keunikan masyarakat nelayan. Sumber daya alam (perikanan) yang diusahakannya masih bersifat terbuka (open acces), dan untuk menjangkaunya, masyarakat nelayan mesti mempunyai modal yang cukup besar untuk menuai hasil tangkapan yang belum bisa diprediksi jumlahnya. Selain itu, basis ekonomi nelayan sedikit mirip dengan masyarakat industri perkotaan, sebab tiap anggota masyarakat telah mempunyai spesialisasi pekerjaan, seperti relasi antar Punggawa (pemodal) dengan Sawi (pekerja). Namun, di masyarakat nelayan spesialisasi pekerjaan itu tidak dipayungi oleh sebuah kelembagaan/institusi formal.

Dari keunikan karakteristik itu, setidaknya dapat diketahui dua probelamtika masyarakat nelayan. Pertama, urusan permodalan untuk menjangkau sumber daya perikanan, semua itu untuk menutupi biaya pembelian bahan bakar dan bekal makanan saat melaut. Kedua, masyarakat nelayan masih berpegang kuat pada kelembagaan/institusi informal atau masih bersifat tradisional atau kelembagaan kultural.

Kelembagaan Tradisional

Untuk menghadapi problem pertama, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memang telah membentuk sebuah institusi formal bernama Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP) pada tahun 2009. Dalam advertorial KKP di tirto.id (24/03/2019), dijelaskan bahwa pada APBN 2017, LPMUKP mendapat alokasi sebesar Rp500 miliar dan pada APBN tahun 2018 alokasinya meningkat jadi Rp850 miliar. “Dana tersebut disalurkan kepada nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pemasar hasil perikanan, usaha garam, dan usaha masyarakat pesisir lainnya” jelas advertorial itu.

Langkah KKP tentu patut diapresiasi. Alokasi dana yang begitu besar itu akan sangat membantu masyarakat nelayan dalam hal permodalan. Namun solusi untuk problem pertama itu juga berhubungan dengan problem yang kedua. Dimana masyarakat nelayan masih berpegang kuat pada kelembagaan/institusi informal yang bersifat personal dan tradisional. Seperti kelembagaan informal Punggawa Sawi yang masih begitu kuat di Sulawesi Selatan.

Dalam salah satu kajian mengenai struktur sosial nelayan patorani di daerah Galesong, Adri Arief dan Dalvi Mustafa (2017) menjelaskan bahwa ada hal-hal personal yang mengikat nelayan Sawi untuk bergantung ke Punggawa selain persoalan modal. “Sebagai seorang punggawa yang menjadi pemimpin dalam suatu kelompok nelayan ikan terbang... bukan hanya dapat menjadi pemberi modal dalam kegiatan pelaksanaan penangkapan di laut, tetapi punggawa harus juga dapat menjadi penjamin keberlangsungan hidup anggotanya (sawi) dan keluarganya baik itu di tengah laut maupun di daratan.”

Dari penjelasan kajian itu, dapat diketahui bahwa jalan keluar yang dibuat KKP dengan mendirikan LPMUKP bakal berhadapan dengan kuatnya kelembagaan informal yang bersifat personal, seperti Punggawa Sawi yang lebih dulu eksis di masyarakat nelayan Sulawesi Selatan.

Oleh sebab itu, para calon pemimpin negeri dan para calon wakil rakyat, memiliki tugas yang sangat penting untuk memahami dan mengetahui problematika dan keunikan masyarakat nelayan di tiap daerah sebelum membuat suatu kebijakan dan menjadi penyambung lidah. Agar kebijakan yang dibuat bisa efektif dan efisien sesuai dengan tradisi dan kultur yang hidup di tiap daerah.

Dimuat pertama kali di Koran Harian Fajar, edisi 6 April 2019

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa