Pohon dalam Dua Cerita

Foto: Pangeran P Muda.
Setiap karya sastra tentu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Lewat medium tulisan, seorang penulis akan berkomunikasi dengan pembaca. Tentu saja sang penulis ingin menyampaikan ide, gagasan dan hasil perenungan mengenai kenyataan di sekitarnya. Tiga hal itu akan tersampaikan ke pembaca jikalau penulis mengemas karyanya dengan menarik dan apik.

Pesan seorang penulis yang tersirat dalam karyanya, biasanya, akan mencerminkan nilai-nilai, kecenderungan pemikiran dan pandangan hidupnya. Namun, karya sastra dapat juga menjadi upaya penyampian keresahan-keresahan dan kemuakkan penulis pada lingkungan sekitarnya atau suatu hal. Selain itu, penggambaran dalam karya sastra juga bakal memuat simbol-simbol yang sengaja ditampilkan agar pembaca dapat menangkap pesan dari sang penulis.

Karya sastra yang baik, akan menampilkan pesan universal. Pesan yang dapat dipahami semua kalangan. Isi pesan-pesan itu dapat memuat berbagai tema, seperti kemiskinan, kemanusiaan, kejujuran, nilai-nilai kekeluargaan dan kerusakan lingkungan. Hal terakhir disebut tentu sangat penting ditampilkan, mengingat sejumlah tindakan dan kelakuan dalam kehidupan sekarang banyak yang tidak berperspektif lingkungan.

Saya pernah, setidaknya, menemukan dua cerita pendek, yang di dalamnya menyiratkan pesan kuat mengenai pelestarian pohon-pohon. Dari dua cerita pendek yang pernah saya baca itu, satu diantaranya pernah dimuat di media cetak dan satu lagi saya temukan dalam buku kumpulan cerpen.

Cerita pendek pertama yang banyak menyiratkan pesan mengenai pohon-pohon dituliskan oleh Aan Mansyur, penulis kelahiran Bone yang telah menerbitkan sejumlah karya. Pada bukunya yang berjudul Kukila Kumpulan Cerita (2012), saya membaca sebuah roman keluarga, persahabatan dan percintaan. Kukila (Rahasia Pohon Rahasia) judul cerita pendek itu.

Kukila (Rahasia Pohon Rahasia) bercerita tentang Kukila sebagai ibu dari tiga anak; Aurora, Nawa dan Janu. Rasa bersalah dan kesepian menyelimuti hari tua Kukila. Bagaimana tidak, masa lalu Kukila bersama Rusdi dan Pilang jadi penyebabnya. Lantas dimana tempat pohon-pohon dalam cerita ini?

Aan Mansyur menempatkan pohon-pohon dalam cerita pendek ini sebagai pertanda kenangan. Beberapa fragmen kisah antara Kukila dengan Pilang, Kukila dengan Rusdi, Kukila dengan anaknya menjadikan pohon-pohon sebagai lambang kebersamaan dan perpisahan mereka. Terutama antara Kukila, Rusdi dan Pilang. “Mata air itu menyediakan minum buat hutan-hutan. Pohon-pohon kenangan. Belantara kenangan itu.” ujar Kukila di halaman 14.

Saat Kukila ingin menghapus kenangannya dengan cara menghilangkan pohon mangga di depan rumahnya, Rusdi malah sebaliknya, ia malah ingin mananam banyak pohon untuk bersembunyi di dalam balantara pohon-pohon itu, tengok saja kutipan narasi berikut ini;

“Rusdi telah lama berusaha mengubur kenangan. Beratus-ratus pohon ia tanam di satu desa bernama Maccobu. Pohon-pohon, pikirnya, akan merimbun jadi hutan dan menyembunyikan dirinya- termasuk semua yang ada di balik ingatannya.” (halaman 54).

Pohon-pohon dalam cerita ini tidak hanya menandai kenangan para tokohnya. Aan Mansyur juga beberapa kali menuliskan pesan peringatan bahaya jika pohon-pohon ditebang dan tidak dipedulikan; “Kota itu tenggelam seperti kaleng-kaleng susu berisi lumpur di satu sumur tua. Sudah sejak lama ia khawatir, kehilangan hijau pohon-pohon akan menyebabkan hal itu.” (halaman 53).

Selanjutnya, cerita pendek kedua, ditulis oleh Muliadi GF. Lawat cerita yang berjudul ‘Alfatihah untuk Pohon-pohon’ (2017), Muliadi GF dengan gamblang menyiratkan pesan kepedulian untuk pohon-pohon. Untuk menyampaikan pesan itu, Muliadi memakai sudut pandang seorang anak kecil berusia sepuluh tahun. Tujuh ayat pertama dari kitab suci Alquran mengawali setiap fragmen cerita si ‘Aku’, anak kecil tersebut.

Di usianya yang masih belia, si ‘Aku’ tentu punya banyak pertanyaan dalam benaknya. Mulai dari siapa sang pencipta? apa itu kematian? Hingga bagaimana seharusnya rezeki diperlakukan? Saat menjabarkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, Muliadi juga tidak lupa menyiratkan pesan tentang pelestarian pohon-pohon, tengok saja kutipan narasi dari Muliadi berikut:

“Pertama-tama, Dia bilang ‘Jadilah Pohon!’, maka tumbuhlah si pohon. Tapi, setelah itu, Dia mengajari kita menanam, dan Dia cukup memberi izin, apa pohon itu akan tumbuh besar atau kecil saja. Dia juga yang memelihara pohon itu.”

Tidak hanya itu, dalam cerpen ini, saya juga melihat Muliadi melontarkan kritik terhadap pembangunan/pelebaran jalan yang tidak peduli pada pohon-pohon; “Apalagi, ketika jalan itu dilebarkan, halaman kami diambil banyak, banyak pohon yang ditebang, mati. Karena semua itu, untuk beberapa waktu lamanya saya musuhan dengan jalan raya.”

Lihatlah, cara Aan Mansyur dan Muliadi GF menyiratkan pesan tentang pohon-pohon dalam cerita pendeknya. Aan membungkus pesan-pesan itu dengan sebuah roman keluarga, percintaan dan persahabatan. Sedangkan Muliadi memakai sudut pandang seorang anak kecil untuk menyampaikan pesannya. Dua cara pengemasan cerita yang dapat menarik perhatian pembaca hingga pesanya tersampaikan.

Dalam satu kesempatan, Okky Madasari, seorang penulis yang sering menyampaikan kritik sosial lewat tulisan, pernah menyampaikan bahwa karya fiksi dapat mengubah perspektif dan kesadaran pembaca. Melalui kesadaran dan perspektif baru, sang pembaca diharapkan dapat memulai perubahan dari dirinya sendiri. Jadi, semakin banyak orang membaca karya fiksi yang bagus, maka semakin banyak pula orang-orang yang memulai perubahan. Walau kata Okky perubahan itu bekerja dengan pelan, tapi setidaknya itu berdampak untuk jangka panjang.

Saya membayangkan dan menaruh harapan, ke depan, karya-karya sastra yang punya pesan mengenai lingkungan seperti yang ditulis Aan Mansyur dan Muliadi GF, semakin banyak diterbitkan. Sebab apabila pesan tentang lingkungan berlipat ganda dan sering dimuat dalam karya sastra, maka semakin banyak pula orang-orang yang memiliki perspektif dan kesadaran untuk menjaga lingkungan dan pohon-pohon.
Dimuat pertama kali di koran Fajar edisi Minggu 16 Juni 2019

Comments

Popular posts from this blog

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi Novel: Tempat Paling Sunyi - Arafat Nur