Posts

Showing posts from December, 2018

Pilihan Ketiga yang Diambil Lelaki Tua

Image
dokumentasi pribadi. Di beranda rumah panggung khas Bugis, selepas menerima panggilan telepon, seorang berkopiah hitam duduk. Sorot mata lelaki tua itu tajam. Seolah ada benda di atas sana yang ia pandangi lekat-lekat. Beberapi kali ia menghela nafas. Mencoba menenangkan diri. Bahkan riuh anak kecil di jalan depan rumahnya sama sekali tidak menarik perhatiannya. Lelaki tua itu pun beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkah perlahan di atas lantai kayu yang berderit setiap kali kaki memijak. Bila orang lain yang berjalan di atas rumah lelaki tua itu, mungkin saja orang itu akan bergidik ketakutan. Was-was. Bagaimana tidak, lantai rumah itu sudah tidak kokoh lagi. Ruas-ruas bekas santapan rayap telah tampak di sana sini. Jika kaki terlalu kuat berpijak atau kalau sengaja ditekan kuat-kuat, maka akan terdengar bunyi kreks! Seperti suara kerupuk atau wafer saat pertama kali dikunyah. Rumah panggung miliknya memang sudah tua. Ia membangun rumah itu ketika usianya hampir mencap

Resensi Novel: Tempat Paling Sunyi - Arafat Nur

Image
Ambisi Berujung Sunyi dokumentasi pribadi Setiap individu pasti punya ambisi. Sebuah tujuan yang hendak dicapai dalam hidup. Entah itu harta, tahta dan ragam macam lainnya. Ambisi itu terus dikejar, walau waktu untuk mendapatkannya tak kunjung tiba, tetapi semangat untuk meriahnya tetap menyala dalam dada. Ambisi, itulah yang membuat hidup jadi terarah. Namun seringkali, tantangan datang silih berganti, untuk menguji seberapa serius kita dalam mencapai ambisi tersebut. Dua premis –ambisi dan ragam macam tantangannya- itu yang jadi narasi utama di bab awal dari novel Tempat Paling Sunyi, karangan Arafat Nur. Novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 2015, ini bercerita mengenai seorang juru ketik yang berambisi membuat sebuah novel. Tokoh itu bernama Mustafa. Mustafa, dikisahkan oleh Arafat Nur, sebagai orang yang percaya bahwa novel bisa merubah dunia. Namun nasibnya memang malang, Mustafa hidup di lingkungan yang orang-orangnya tidak menyukai buku dan

Belajar dari Pesohor: Jaga Semangat, Salurkan Gagasan

Image
Semua jadi lebih mudah. Sejak revolusi digital yang dimulai tahun 1980, era digital semakin berkembang dengan cepat. Mulai dari perkembangan komputer hingga akses terhadap internet. Semua itu memudahkan pekerjaan manusia sebagai pengguna. Tidak hanya pekerjaan kantoran yang memang akrab dengan peralatan tersebut, sekadar menyalurkan gagasan pun jadi lebih mudah. Dahulu, di tahun 1960an, sebelum revolusi digital dimulai, satu-satunya jalan untuk menyalurkan gagasan ialah lewat media cetak. Jikalau hanya ingin menuliskan jurnal pribadi atau catatan harian, alat yang paling canggih yang bisa digunakan adalah mesin ketik. Tokoh yang hidup di masa itu dan melakukan dua hal tersebut ialah Soe Hok Gie. Sosok panutan yang saya kenal lewat gagasan dan tulisannya, baik yang pernah diterbitkan di media cetak, ataupun catatan hariannya yang terbit jadi sebuah buku 14 tahun setelah ia meninggal. Ketika membaca pengantar dari Arif Budiman, saudara kandung Soe Hok Gie, dalam Catatan Hari

Yang Menarik dari Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

Image
Foto: Dokumentasi pribadi Pertengahan September 2018, selepas melahap “Seorang Lelaki yang Keluar dari Rumah”, saya kembali disuguhkan novel karya Puthut EA. Di sebuah warung kopi, seorang kawan mengeluarkan “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” dari tasnya. Novel itu bersampul biru putih. Terlihat pula gambar seorang lelaki yang tampak merenung di atas kursi yang diikat dengan lima balon warna warni. Saya pun meraihnya, membaca sinopsisnya, lalu membuka halaman awal. Tertulis, buku ini cetakan ke tujuh, tahun 2018, diterbitkan oleh Buku Mojok. Sudah tiga belas tahun dari cetakan pertamanya, tahun 2005. Novel setebal 256 halaman ini pun mampir ke tas saya. Tentu saja setelah mendapat izin dari kawan saya tadi, juga setelah saya menyerahkan “Sekuntum Peluru” karya Alto Makmuralto. Kami memang sering bertukar bahan bacaan. Dari sebuah warung kopi di Kota Makassar itu, saya membawa “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” ke sebuah desa yang terletak di tepi kawasan Taman Nasional Banti

Bagaimana Cara Menyikapi Orang Lain?

Hell is other people, Jean Paul Sartre Sorot mata wanita tua itu tajam. Tatapannya seolah menerawang. Tatkala di suatu pagi melewati jalan ke pusat kota, matanya tertuju pada tiga papan iklan besar. Wanita tua itu bernama Mildred Hayes, pemeran utama film Three Billboadrs Outside Ebing Missouri. Anaknya dibunuh dan diperokosa. Sedang pelakunya masih bebas. Mildred Hayes tentu geram. Ia tak bisa tinggal diam. Tetiba kesadarannya tergugah ketika melintas di jalan dengan tiga papan iklan besar. Maka Ia pun menggugat dengan cara tidak biasa, memasang sindiran ke polisi di tiga papan iklan itu. “Raped While Dying, And Still No Arrest? How Come Chief Willoughby?” Tiga kalimat itulah yang tertulis di tiga papan iklan di jalan menuju kota Ebing Missouri. Seketika, karena hadirnya tiga kalimat itu, dimulailah konflik antar tokoh dalam film ini. Antara Milderd dengan institusi kepolisian setempat, dengan Willoughby dan juga Dixon. Antara Mildred dengan mantan suaminya, Antara Mildre