Bagaimana Cara Menyikapi Orang Lain?


Hell is other people, Jean Paul Sartre
Sorot mata wanita tua itu tajam. Tatapannya seolah menerawang. Tatkala di suatu pagi melewati jalan ke pusat kota, matanya tertuju pada tiga papan iklan besar. Wanita tua itu bernama Mildred Hayes, pemeran utama film Three Billboadrs Outside Ebing Missouri. Anaknya dibunuh dan diperokosa. Sedang pelakunya masih bebas. Mildred Hayes tentu geram. Ia tak bisa tinggal diam. Tetiba kesadarannya tergugah ketika melintas di jalan dengan tiga papan iklan besar. Maka Ia pun menggugat dengan cara tidak biasa, memasang sindiran ke polisi di tiga papan iklan itu.

“Raped While Dying, And Still No Arrest? How Come Chief Willoughby?”

Tiga kalimat itulah yang tertulis di tiga papan iklan di jalan menuju kota Ebing Missouri. Seketika, karena hadirnya tiga kalimat itu, dimulailah konflik antar tokoh dalam film ini. Antara Milderd dengan institusi kepolisian setempat, dengan Willoughby dan juga Dixon. Antara Mildred dengan mantan suaminya, Antara Mildred dengan istri Willoghby hingga konflik terus bergulir dan menarik perhatian semua warga penghuni kota.

Konflik film Three Billboadrs Outside Ebing Missouri tadi dimulai dengan sebuah kesadaran yang mengusik kesadaran orang lain. Hadirnya tiga kalimat menggugat di tiga papan iklan itu juga membuat person juga institusi Willoughby dan Dixon seolah-olah diobjekkan.

Dalam film ini, dictum Sartre, “hell is other people” sangat kuat terasa. Orang lain adalah neraka. Menurut Sartre, kehidupan manusia senantiasa saling menidak satu sama lain, saling menegasikan kesadaran orang lain. Tatapan mata sebagai metafora yang digunakan Sartre untuk menjelaskan filsafat eksistensialismenya, akan kerap kita temui di film ini, seperti adegan Robie Hayes, anak dari Mildred turun dari mobil dan seketika semua mata orang di sekolahnya melihat ke arah Robie, juga ketika adegan Mildred bersama pria bertubuh kecil, James, makan malam dan bertemu dengan mantan suaminya yang membawa pasangannya di sebuah restoran romantis. Mildred terusik dengan sebuah senyum sinis dari sang mantan suami, Charlie.

Di kehidupan nyata, adegan seperti itu jamak dijumpai. Lantas, bagaimana sebaiknya diri menyikapi hal macam itu?

Prof Dr Alex Lanur OFM, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Drikarya menjabarkan pemikiran Sartre dalam tulisan berjudul ‘Relasi Antar Manusia Menurut Jean Paul Sartre’. Ia mengatakan, ada dua pilihan sikap yang dapat dilakukan ketika ‘diri merasa terobjekkan’, pertama merasa takluk dan tunduk saja, yang kedua tidak tunduk dan tidak takluk kepadanya.

Sikap yang pertama timbul karena adanya rasa senang, cinta dan sayang. Sedang sikap yang kedua akan terlihat dalam bentuk acuh tak acuh, maupun sikap benci. Relasi subjek-objek pada manusia ini akan selalu terjadi timbal balik pada tiap diri. Hanya kebebasan diri yang mampu membuat manusia keluar dari relasi itu, seperti yang dikatakan Sartre:

“Apakah kalian tahu, bahwa kalian punya kebebasan yang mutlak; dan bahwa kalianlah yang menentukan diri otentik kalian?”

Lain lagi dengan penjelasan Emanuel Levinas, seorang filsuf berdarah yahudi. Thomas Hidya Tjaya, dalam bukunya yang menjabarkan pemikiran Emanuel Levinas berjudul “Enigma Wajah Orang Lain” menjelaskan bahwa pentingnya tanggung jawab diri terhadap kehadiran orang lain. Wajah orang lain diartikan sebagai jejak dari Yang Tak Terbatas.

“Saya mendekati Yang Tak Terbatas sejauh saya melupakan diri saya demi sesama yang menatap saya.. Saya mendekati Yang Tak Terbatas dengan mengorbankan diri saya. Pengorbanan adalah norma dan kriteria dari pendekatan.” ujar Levinas dalam tulisan berjudul Phenomenon and Enigma yang dikutip dalam buku Thomas Hidya Tjaya.

Pemikiran Levinas, di masa yang penuh dengan kebencian ini kiranya akan sangat tepat seandainya mampu dipahami banyak orang. Tak akan ada lagi pembantaian, rasa saling curiga, hingga kemarahan yang sulit menerima maaf. Thomas Hidya menyisipkan sebuah frasa dari Anthony de Mello, dalam bukunya yang memperjelas maksud dari Levinas:

Ketika Anda menatap wajah setiap laki-laki dan mengenalinya sebagai saudaramu,Ketika Anda menatap wajah setiap perempuan dan mengenalinya sebagai saudarimu.Kalau Anda tidak dapat melakukan hal ini, entah hari menunjukkan pukul berapa menurut perhitungan matahari, hari masih tetaplah malam.

Di akhir film Three Billboards Outside Ebing Missouri, Dixon mulai sadar, seperti frasa Anthony de Mello di atas. Semua bersaudara, jika kita tak berpikiran seperti itu, mungkin di kepala kita hari masih tetaplah malam, malam kelam yang gelap.

*Tulisan ini pernah dimuat di koran kampus identitas Unhas

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa