Catatan Bedah Film Kala Benoa


Dan yang tersisa cuma debu

Oh ini serius

Tentang bumi ini, alam ini
Nosstress, Tanam Saja.

            Ya, ini semua tentang bumi kita. Alam kita. Penambangan, penebangan pohon, pengerukan dan penimbunan laut semakin marak terjadi. Aktivitas investasi ekonomi ini banyak yang berbenturan dengan adat istiadat masyarakat setempat. Harmoni hidup masyarakat adat  yang berdampingan dengan alam pun menghadapi bahaya.

            Seperti dalam salah satu film produksi Watchdoc, berjudul 'Kala Benoa'. Film ini memilki dua garis besar. Reklamasi dan pariwisata. Bali memang terkenal dengan pariwisata. Turisme massal membuat persaingan harga antar hotel semakin tinggi. Selain itu, pertumbuhan hotel di pulau seribu dewa ini telah sampai pada titik jenuh. Banyaknya hotel juga membuat pemuda pesisir Bali banyak yang memilih bekerja di hotel dan meninggalkan pekerjaan orangtua mereka sebagai nelayan.

           Jaringan Ekowisata Desa (JED) dalam film ini seakan menjadi titik cerah pariwisata di Bali. Pemberdayaan masyarakat adat ialah konsep utamanya.

            Sedangkan reklamasi dalam film ini mengambil porsi yang cukup besar. Reklamasi teluk Benoa menuai banyak penolakan mulai dari nelayan kecil hingga masyarakat adat. Tanah, air dan laut dalam masyarakat adat Bali dianggap sebagai hal suci. Rencana penimbunan Teluk Benoa itu pun seakan-akan tak menghiraukan adat suci dari rakyat Bali. Luas wilayah yang rencananya akan direklamasi seluas 700 Ha dengan 23 juta kubik pasir dari daerah Lombok Timur.

“Orang yang membangun, pantai kami yang dirusak” Keluh Tohri, seorang nelayan kecil asal Lombok Timur.

            Manusia. Itulah sebabnya. Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan Mario Hikmat (FKM Unhas, angkatan 2012) dalam materi yang dibawakannya dalam Kajian Rutin Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan (Himasei) Unhas berupa bedah film ‘Kala Benoa’ di Cafe Kampus Kedua, Selasa (12/9/2017). 

          Dalam pemapara materinya, Mario menjelasakan salah satu aliran filsafat lingkungan, yakni antroposentrisme. Ia menuturkan dalam aliran ini, manusia dianggap sebagai pusat alam semesta, karena itu manusia merasa berhak melakukan apa pun terhadap apa yang ada disekitarnya. Ekslpoitasi alam (reklamasi, penebangan hutan dan penangkapan ikan dengan bom) terjadi karena manusia punya nalar, akal dan rasio yang disalahgunakan. Manusia menyalahgunakan rasio untuk melakukan pembenaran. Misalnya reklamasi dilakukan sebab diyakini mampu meningkatkan ekonomi rakyat. Ini menunjukkan superioritas manusia terhadap yang lain (alam).   
  
Gerakan Penolakan Reklamasi
            Dalam film itu, tampak seluruh elemen ikut serta dalam gerakan sosial 'Bali Tolak Reklamasi'. Inilah yang menjadi kunci keberhasilan suatu gerakan. Menyatunya masyarakat dengan elemen semisal akademisi dan musisi hingga rakyat biasa membuat gerakan ini menjadi gerakan sosial paling berhasil dibanding gerakan penolakan reklamasi di daerah lain.

           Selain masyarakat, mahasiswa juga harus memiliki peran penting. Untuk membangun kesdaran diri terhadap kasus seperti yang ada dalam film Kala Benoa, mahasiswa mesti memulai dengan mengubah pola pikir. Seperti yang diungkapkan Pramoedya Ananta Toer, kita harus adil sejak dalam pikiran! “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran. Apalagi perbuatan”
Makassar, 13/9/2017

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol