Opini: Eksploitasi Rindu Solusi



Dimuat pertama kali di Harian Fajar edisi 6 Juli 2017.
        Eksploitasi Rindu Solusi
 “Nelayan kembali dari mencari ikan, kemudian mereka mendengar dan melihat perlakuan mandor yang ‘seenaknya’… sebenarnya ia akan marah, tetapi mereka membayangkan kematian akan menemuinya, tenggelam di laut Kamchatka yang gelap…” Kobayashi Takiji, Kani Kosen (1929)

            Kutipan di atas merupakan sepotong cerita dari kisah nelayan dalam novel karya Kobayashi Takiji. Novel ini bercerita tentang para pekerja di kapal penangkap kepiting. Dalam novel ini, Kobayashi Takiji menggambarkan kehidupan buruh dan nelayan yang dieksploitasi, ditindas dan dibungkam dengan alasan ekonomi.
            Dalam pengantar novel ini, guru besar sejarah Jepang Universitas Indonesia, Prof Dr I Ketut Surajaya, mengungkapkan, secara tersirat,  apa yang dirasakan para nelayan dalam kisah Kani Kosen bisa saja dirasakan nelayan pada masa kini. “Sejarah tidak mungkin berulang, tapi suasana batin suatu masyarakat dapat berdaur ulang dalam analogi zeitgeist social, budaya, politik dan ekonomi.”
            Sesuai dengan pernyataan Prof Dr I ketut Surajaya diatas. Kini, saat novel Kani Kosen hampir berumur seabad, kisah eksploitasi dan penindasan pekerja kapal perikanan (Baca:Nelayan) masih saja terjadi. Baik di kapal nelayan industri maupun kapal nelayan tradisional.
            Berdasarkan sebuah artikel hasil penelitian yang dirilis mongabay.co.id (30/6/2017) dengan judul Riset: Asean Belum Melindungi ABK di Kapal Penangkap Ikan mengungkapkan beberapa temuan. Dalam artikel ini, sejumlah lembaga (SEAFish for justice, Ever Green Myanmar dan JPKP Sulawesi Tenggara) melakukan penelitian terhadap pengalaman nelayan kapal penangkap ikan di Indonesia dan Myanmar. Hasil peneltian itu mengungkapkan masih banyaknya ketidakadilan yang dirasakan para nelayan dewasa ini.
            Ketidakadilan yang dihadapi mulai dari pengekangan, kerja paksa, jam kerja yang berlebih dan kurangnya jaminan social yang meraka dapatkan.
            Kondisi ini juga semakin parah kerena kurang jelasnya mekanisme pengaduan, masih minimnya penegakan hukum dan kurangnya kontrol terhadap situasi yang dihadapi nelayan. Selain itu, system pengupahan dan bagi hasil yang kurang adil memaksa banyak pekerja kapal penangkap ikan dari dua negara ini memilih bekerja di luar negeri demi mendapat penghasilan lebih.
            Meski berbeda dalam system tata kelola kapal nelayan industri. Di kapal nelayan tradisional, hal yang hampir sama juga dirasakan pekerja penangkap ikan. Relasi kuasa antara pemilik modal dan pekerja sangat kuat. Meyebabkan para pekerja terperangkap dalam kemiskinan dan ketidakadilan.
            Seperti nelayan tradisional di Selawesi Selatan, relasi kuasa antara Punggawa (Pemilik modal) dengan Sawi (Pekerja/buruh penangkap ikan) begitu kuat terasa. Tidak hanya pada saat melaut, bahkan diluar praktik kerja, relasi kuasa dari keduanya masih terjalin. Pendapatan dari menangkap ikan yang diperoleh Sawi seringkali harus dipotong akibat perangkap dari Punggawa. Bantuan berupa pinjaman uang yang diberikan Punggawa saat masa paceklik (masa para pekerja tidak melaut akibat kondisi alam tidak baik) harus dibayar dengan kerja keras di atas kapal.
            Pekerjaan nelayan tradisional yang masih belum tersentuh dengan peraturan tentang besaran upah minimum, membuat nelayan tradisional mesti menutupi kebutuhannya dengan utang. Selain di Sulawesi Selatan, pola hubungan kerja seperti Punggawa-Sawi juga terjadi di daerah lain. Di Jawa dan Sumatera dikenal dengan istilah Juragan-Pandega, Tauke-Nelayan.
            Selain persoalan upah dan bagi hasil, system perekrutan pekerja di kapal nelayan tradisional juga rentan terhadap eksploitasi pekerja dibawah umur (tujuh belas tahun ke bawah). Dalam buku Orang Mandar Orang Laut karya Muhammad Ridwan Alimuddin, mengungkapkan hampir setiap armada penangkap ikan di daerah mandar mempunyai nelayan cilik atau dalam bahasa mandar disebut Sawi Kecuq (berumur sekitar dua belas tahun sampai enam belas tahun).
            Fakta ini tentu sangat rentan terhadap pelanggaran peraturan Undang-Undang (UU) tenaga kerja untuk perlindungan anak di bawah umur. Dalam UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 68 berbunyi: Pengusaha dilarang mempekerjakan anak di bawah umur. Walaupun di pasal 69 terdapat banyak pengecualian dan syarat yang harus dipenuhi: adanya izin dari orangtua, waktu kerja maksimal tiga jam, tidak mengganggu waktu sekolah dan adanya hubungan kerja yang jelas. Tapi, siapakah yang bisa menjamin syarat itu dapat terlaksana?
            Di masa kini, di bawah visi maritim pemerintahan Jokowi. Kesejahteraan adalah hal mutlak harus dirasakan nelayan. Sudah semestinya instansi pemerintahan terkait: Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelutan dan Perikanan, Kementerian Ketenagakerjaan. Dan juga pihak Swasta, dapat menghilangkan atau mengurangi ketimpangan yang terjadi dan mengupayakan adanya jaminan sosial terhadap nelayan. Selain itu, upaya mencerdaskan nelayan melalui pendidikan dan pelatihan tentang efisiensi juga keselamatan kerja mesti dilakukan. Jika semua hal itu dilakukan, tentu impian berhasilnya ‘Revolusi Biru’ dapat sesukses ‘Revolusi Hijau’ dahulu. Saya pun berharap agar kisah eksploitasi pekerja penangkap ikan dalam novel Kani Kosen tidak akan terulang dan tak akan terjadi lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa