Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi
Belajar Merdeka Sejak Hati
Foto: dokumentasi pribadi |
Siapa
yang menyangka Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dulunya
pernah menjadi anak jalanan, penjual es lilin, petinju dan bahkan ikut dalam
geng motor. Saya pun baru tahu semua itu, setelah membaca biografi Lafran Pane
yang ditulis dengan gaya novel oleh Ahmad Fuadi.
Merdeka sejak hati. Itulah judul novel biografi Lafran Pane. Sebuah judul yang sangat pas mengambarkan karakter Lafran dalam buku ini. Sebab sepanjang 356 halaman, novel biografi ini menyiratkan pesan kuat perihal perangai merdeka Lafran Pane; merdeka raga, merdeka jiwa dan merdeka hati.
Sejak dari kecil, Lafran telah
menampakkan karakter bebas merdeka, tidak ingin diatur-atur. Salah satu adegan
yang menyiratkan hal itu ketika Lafran diajak tinggal di rumah neneknya dari
pihak ibu. Tapi, Lafran kecil tak mau, bukannya ia tak sayang pada neneknya, ia
hanya tak tahan pada banyaknya aturan di rumah neneknya.
“Nenekku pernah pula mengajak aku
tinggal di rumahnya. Tetapi aku tidak tahan dengan tata tertib yang
diterapkannya sehari-hari sebagai orang terpelajar berpendidikan Belanda. Makan
harus begini, berpakaian harus begitu, harus tidur siang pula.” (halaman 8)
Beranjak remaja, karakter Lafran
semakin terlihat. Membaca Lafran dalam fase ini adalah keseruan yang amat berkesan
bagi saya. Bagaimana tidak, Ahmad Fuadi menarasikan kehidupan Lafran remaja seperti
petualangan Huckelberry Finn yang ditulis Mark Twain. Seru dan sarat nilai
moral.
Di fase remaja inilah, Lafran Pane
mencoba hidup mandiri. Dari berjualan es lilin hingga menjadi petinju di pasar
malam kota Medan. Lafran remaja banyak bergaul dengan siapa saja yang
ditemuinya di jalanan, seperti gelandangan, tukang catut tiket, penjaga
bioskop, tukang tambal ban, tukang jual es hingga preman jalanan. Semua ini
dilakukan sebagai pelarian akibat dari pelajaran sekolah yang kurang menantang
dan rumah kakaknya yang tidak menyediakan perhatian lebih.
“Kesimpulanku; kemerdekaanku sebagai
anak kampung akan segera hilang kalau aku ikut aturan kakak.” (halaman 33)
Jiwa dan raga Lafran remaja ingin
terus bertualang. Karena sekolahnya di Medan tak karuan, Lafran diminta ayahnya
pindah ke tempat abangnya, Sanusi Pane dan Armijn Pane di Batavia. Di kota
besar inilah Lafran muda ikut bergabung ke dalam geng motor zaman kolonial.
Hingga akhirnya Lafran muda menjadi manusia baru dan pindah ke Jogjakarta.
Latar kisah hidup Lafran muda adalah
saat masa-masa perjuangan meraih kemerdekaan. Saat Jepang tengah sibuk-sibuknya
berperang melawan tentara sekutu. Juga ketika para pejuang, baik dari kaum tua
dan kaum muda, mulai sibuk menyiapkan diri untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia,
sambil menunggu informasi pasti kekalahan Jepang. Sebagai manusia baru, Lafran
meninggalkan kehidupan geng motornya, lalu mulai ikut ke dalam pergerakan
kemerdekaan. Semua itu dipantik oleh gurunya dan dua kakaknya, Sanusi Pane dan
Armijn Pane yang lebih dulu terlibat dalam gerakan.
Kisah hidup Lafran yang paling
menarik dalam buku ini adalah saat Lafran Pane ingin mewujudkan idenya mendirikan
organisasi mahasiswa islam. Untuk mewujudkan idenya itu, Lafran coba
mengumpulkan teman-temannya yang satu pemikiran dengannya. Namun, hal itu
bukanlah hal yang mudah. Lafran harus bergerak dari satu forum ke forum lain,
dari satu mesjid ke mesjid lain untuk meyakinkan dan mengajak mahasiswa islam
untuk berhimpun ke dalam sebuah organisasi. Ada yang setuju dan ada pula yang
menolak.
Dari kisah perjuangan Lafran untuk
mewujudkan idenya itu, saya belajar, bahwa mewujudkan ide di kepala itu tidak
dapat terwujud jika hanya bermodal kemauan, dibutuhkan hal yang lebih dari itu,
yakni tekad dan kegigihan.
“Dari hanya badai di kepalaku, lalu
corat-coret di kertas, kini ide itu sudah menular ke beberapa kawan yang
bersiap mendukung.” (Halaman 170)
Di novel biografi ini, cerita-cerita
seputar organisasi HMI yang diprakarsai oleh Lafran Pane juga sangat menarik
diikuti. Banyak cerita sejarah dari organisasi ini yang dapat diketahui.
Misalnya, beberapa adegan yang menyiratkan awal mula konflik HMI dengan CGMI,
salah satu organisasi mahasiswa yang terkait dengan PKI.
Selain itu, kisah hidup Lafran tua,
bersama istri, anak dan cucu juga amat saya senangi. Membaca kisah Lafran tua
membuat saya rindu pada sosok kakek di masa kecil saya.
Di fase kehidupan ini, sosok Lafran
begitu identik dengan kesederhanaan dan kebersahajaan. Simak saja,
cerita-cerita tentang sepeda onthel dan televisi hitam putih miliknya. Juga
ketika membaca reaksi Lafran Pane sang pemrakarsa, saat tak diberi jalan masuk
ke kongres HMI, karena kader yang masih muda-muda tidak mengenal dirinya. Saya
berdecak kagum saat membaca itu semua; betapa rendah hatinya sosok Lafran Pane.
Ditulis di Makassar, Juni 2019
Comments
Post a Comment