Mengapa Kita Enggan Bertanya Di Perkuliahan?


Ada yang ingin bertanya?

Seorang moderator melemparkan kalimat di atas, setelah tiga pemateri selesai menyampaikan bahan diskusi. Namun, kalimat tanya itu tak berbalas. Di antara puluhan peserta diskusi yang datang, tak satu pun yang mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan itu. Sejenak, semua orang jadi diam. Hening. Hingga beberapa saat kemudian, salah satu pemateri berguyon bahwa kalimat ‘ada yang ingin bertanya’ termasuk dalam daftar pertanyaan yang sangat ditakuti. Pemateri itu bilang, pertanyaan tadi bisa membuat jantung berdegup kencang, sebab kepala dipenuhi pertanyaan atau pendapat yang hendak disampaikan tapi terus ditahan-tahan. Semua tertawa. Suasana jadi cair. Satu peserta pun acungkan tangan, dan mulai bertanya. Tapi, hingga acara usai, goyonan dari sang pemateri terus dilontarkan dan menyindir semua peserta dikusi.

Suasana ini memang jamak dijumpai. Seperti di seminar, talkshow, dialog public, workshop pelatihan hingga di ruang kelas perkuliahan. Sebagai orang kampus yang akrab dengan lingkungan akademis, hal seperti ini adalah sebuah ironi. Sebab, salah satu jalan yang dapat memantik pengetahuan adalah dengan terus mempertanyakan sesuatu.

Lantas, mengapa suasana seperti ini masih sering di jumpai? Mengapa kebanyakan dari kita segan bertanya dan enggan menyampaikan komentar atau pendapat dalam forum diskusi?

Jawaban dari dua pertanyaan itu saya temukan dalam tulisan Nurhady Sirimorok berjudul ‘Ini Soal Mendengar Orang Muda’. Nurhady menyampaikan bahwa, selama ini, orang-orang dewasa teramat sering berceramah, memberi nasihat dan terus mengarahkan, sedangkan orang-orang muda hanya bertugas untuk mendengarkan saja. Jika orang-orang muda tidak mau mendengar nasihat, ceramah dan arahan orang tua, maka cap sebagai biang onar bakal melakat ke diri mereka. Oleh sebab itu, banyak orang-orang muda memilih menerima ceramah, nasihat dan arahan orang-orang tua. Menjadi tunduk dan patuh.

Saat membaca tulisan Nurhady, sekelabat saya ingat suasana kelas di sekolah dasar dan menengah. Di sekolah dasar, ibu guru sering mendiktekan setiap mata pelajaran ke kami, anak muridnya yang dengan sigap menulis ulang setiap kalimat yang dibacanya dari buku cetak.  Begitu pun ketika duduk di sekolah menengah, suasana belajar masih sama, hanya tugas saja yang bertambah banyak. Dan sependek ingatan saya, sepertinya, di sekolah menengah tak ada mata pelajaran yang membuat kami dapat belajar menyampaikan pendapat dengan baik. Guru terus mendikte. Murid hanya mendengar dan mengerjakan tugas saja.

Akibat dari dua kenyataan tadi, banyak orang muda jadi kesulitan dan segan untuk berbicara dan bertanya ke orang-orang tua. Sikap enggan dan segan tersebut lambat laun tertanam lalu menjadi kebiasaan dan terbawa sampai bangku kuliah. Sehingga banyak dari kita yang enggan atau segan bertanya dan menyampaikan pendapat di dalam forum diskusi atau di ruang perkuliahan. Rasa enggan muncul karena banyak dari kita takut dikira bersikap tidak sopan bila menyampaikan ketidaksetujuan dan mempertanyakan hal-hal yang disampaikan dosen atau pemateri.

Padahal, bisa saja ceramah, nasihat dan arahan dari orang-orang tua itu sudah tidak sesuai dengan zaman yang dihadapi orang-orang muda. Begitu pun dengan materi kuliah, akses informasi yang serba cepat dan terbuka membuat pengetahuan tidak mutlak dimiliki oleh satu orang saja.

Oleh karena itu, ruang perkuliahan sebaiknya lepas dari pengaruh dominasi nilai-nilai yang membuat pembedaan tua-muda, pintar-bodoh antara dosen dengan mahasiswa. Sebab dominasi nilai-nilai itu dapat menghalangi potensi dari setiap individu yang hadir di perkuliahan. Paulo Freire pernah bilang; “If the structure does not permit dialogue, the structure must be changed

Dimuat pertama kali di koran kampus identitas Unhas edisi 2019

Comments

Popular posts from this blog

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi Novel: Tempat Paling Sunyi - Arafat Nur