Posts

Showing posts from 2018

Pilihan Ketiga yang Diambil Lelaki Tua

Image
dokumentasi pribadi. Di beranda rumah panggung khas Bugis, selepas menerima panggilan telepon, seorang berkopiah hitam duduk. Sorot mata lelaki tua itu tajam. Seolah ada benda di atas sana yang ia pandangi lekat-lekat. Beberapi kali ia menghela nafas. Mencoba menenangkan diri. Bahkan riuh anak kecil di jalan depan rumahnya sama sekali tidak menarik perhatiannya. Lelaki tua itu pun beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkah perlahan di atas lantai kayu yang berderit setiap kali kaki memijak. Bila orang lain yang berjalan di atas rumah lelaki tua itu, mungkin saja orang itu akan bergidik ketakutan. Was-was. Bagaimana tidak, lantai rumah itu sudah tidak kokoh lagi. Ruas-ruas bekas santapan rayap telah tampak di sana sini. Jika kaki terlalu kuat berpijak atau kalau sengaja ditekan kuat-kuat, maka akan terdengar bunyi kreks! Seperti suara kerupuk atau wafer saat pertama kali dikunyah. Rumah panggung miliknya memang sudah tua. Ia membangun rumah itu ketika usianya hampir mencap

Resensi Novel: Tempat Paling Sunyi - Arafat Nur

Image
Ambisi Berujung Sunyi dokumentasi pribadi Setiap individu pasti punya ambisi. Sebuah tujuan yang hendak dicapai dalam hidup. Entah itu harta, tahta dan ragam macam lainnya. Ambisi itu terus dikejar, walau waktu untuk mendapatkannya tak kunjung tiba, tetapi semangat untuk meriahnya tetap menyala dalam dada. Ambisi, itulah yang membuat hidup jadi terarah. Namun seringkali, tantangan datang silih berganti, untuk menguji seberapa serius kita dalam mencapai ambisi tersebut. Dua premis –ambisi dan ragam macam tantangannya- itu yang jadi narasi utama di bab awal dari novel Tempat Paling Sunyi, karangan Arafat Nur. Novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 2015, ini bercerita mengenai seorang juru ketik yang berambisi membuat sebuah novel. Tokoh itu bernama Mustafa. Mustafa, dikisahkan oleh Arafat Nur, sebagai orang yang percaya bahwa novel bisa merubah dunia. Namun nasibnya memang malang, Mustafa hidup di lingkungan yang orang-orangnya tidak menyukai buku dan

Belajar dari Pesohor: Jaga Semangat, Salurkan Gagasan

Image
Semua jadi lebih mudah. Sejak revolusi digital yang dimulai tahun 1980, era digital semakin berkembang dengan cepat. Mulai dari perkembangan komputer hingga akses terhadap internet. Semua itu memudahkan pekerjaan manusia sebagai pengguna. Tidak hanya pekerjaan kantoran yang memang akrab dengan peralatan tersebut, sekadar menyalurkan gagasan pun jadi lebih mudah. Dahulu, di tahun 1960an, sebelum revolusi digital dimulai, satu-satunya jalan untuk menyalurkan gagasan ialah lewat media cetak. Jikalau hanya ingin menuliskan jurnal pribadi atau catatan harian, alat yang paling canggih yang bisa digunakan adalah mesin ketik. Tokoh yang hidup di masa itu dan melakukan dua hal tersebut ialah Soe Hok Gie. Sosok panutan yang saya kenal lewat gagasan dan tulisannya, baik yang pernah diterbitkan di media cetak, ataupun catatan hariannya yang terbit jadi sebuah buku 14 tahun setelah ia meninggal. Ketika membaca pengantar dari Arif Budiman, saudara kandung Soe Hok Gie, dalam Catatan Hari

Yang Menarik dari Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

Image
Foto: Dokumentasi pribadi Pertengahan September 2018, selepas melahap “Seorang Lelaki yang Keluar dari Rumah”, saya kembali disuguhkan novel karya Puthut EA. Di sebuah warung kopi, seorang kawan mengeluarkan “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” dari tasnya. Novel itu bersampul biru putih. Terlihat pula gambar seorang lelaki yang tampak merenung di atas kursi yang diikat dengan lima balon warna warni. Saya pun meraihnya, membaca sinopsisnya, lalu membuka halaman awal. Tertulis, buku ini cetakan ke tujuh, tahun 2018, diterbitkan oleh Buku Mojok. Sudah tiga belas tahun dari cetakan pertamanya, tahun 2005. Novel setebal 256 halaman ini pun mampir ke tas saya. Tentu saja setelah mendapat izin dari kawan saya tadi, juga setelah saya menyerahkan “Sekuntum Peluru” karya Alto Makmuralto. Kami memang sering bertukar bahan bacaan. Dari sebuah warung kopi di Kota Makassar itu, saya membawa “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” ke sebuah desa yang terletak di tepi kawasan Taman Nasional Banti

Bagaimana Cara Menyikapi Orang Lain?

Hell is other people, Jean Paul Sartre Sorot mata wanita tua itu tajam. Tatapannya seolah menerawang. Tatkala di suatu pagi melewati jalan ke pusat kota, matanya tertuju pada tiga papan iklan besar. Wanita tua itu bernama Mildred Hayes, pemeran utama film Three Billboadrs Outside Ebing Missouri. Anaknya dibunuh dan diperokosa. Sedang pelakunya masih bebas. Mildred Hayes tentu geram. Ia tak bisa tinggal diam. Tetiba kesadarannya tergugah ketika melintas di jalan dengan tiga papan iklan besar. Maka Ia pun menggugat dengan cara tidak biasa, memasang sindiran ke polisi di tiga papan iklan itu. “Raped While Dying, And Still No Arrest? How Come Chief Willoughby?” Tiga kalimat itulah yang tertulis di tiga papan iklan di jalan menuju kota Ebing Missouri. Seketika, karena hadirnya tiga kalimat itu, dimulailah konflik antar tokoh dalam film ini. Antara Milderd dengan institusi kepolisian setempat, dengan Willoughby dan juga Dixon. Antara Mildred dengan mantan suaminya, Antara Mildre

Resensi Novel Sekuntum Peluru

Image
Realitas Mahasiswa Dalam Sekuntum Peluru Foto: dokumentasi pribadi Realitas adalah kenyataan. Kenyataan adalah sebuah fakta. Dan setiap fakta dapat dicerap ke dalam sebuah karya fiksi, baik itu puisi, cerita pendek atau pun sebuah novel. Lewat medium bahasa, karya fiksi juga sangat mungkin mengalihkan realitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas fiksional. Nyoman Kutha Ratna, penulis buku ‘Paradigma Sosialogi Sastra’ menyampaikan bahwa “Sebagai sebuah dunia miniatur, karya sastra berfungsi untuk menginvetarisasikan sejumlah kejadian-kejadian, yaitu kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi,” Lebih lanjut, Nyoman Kutha Ratna mengatakan, pada dasarnya, seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk ke dalam genre yang paling absurd sekalipun merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mengkin terjadi dalam kehidupan sehari-sehari. Cara-cara bertindak, berpikir dan merasakan, kata Nyoman Kutha Ratna,

Dosen Juga Perlu Dikontrol

“Kalau laporannya hanya datang dari dosen-dosen saja rasanya kurang lengkap. Apakah mereka (mahasiswa) mengerti apa yang dikuliahkan? Apakah mereka merasa senang dan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru dari kuliah-kuliah? Dan, bagaimanakah mereka menilai dosen-dosennya sendiri?” “Dan secara pribadi saya bertanya, bagaimanakah pendapat-pendapatnya tentang perkuliahan yang mereka terima? Ternyata banyak sekali yang tidak pas. Ada dosen-dosen yang hanya memberikan kuliah 2 – 3 kali tiap semester, kemudian memberikan buku-buku wajib: ...‘Coba saudara membuat paper dari buku wajib ini, hasil paper saudara saya samakan dengan angka ujian semester’.” “Ternyata banyak dosen-dosen datang seenaknya. Kuliah jam 08.00 pagi, tapi datang jam 09.00. mereka mengkorting kuliahnya 50%.” “Ada dosen-dosen yang ternyata bodoh. Seorang dosen menyuruh menerjemahkan text book berbahasa Inggris. Tiap mahasiswa dapat satu bab. Setelah diselidiki, ternyata dosen ini tidak mengerti bahasa Inggris d

Mengatasi Hambatan dengan Perubahan Teknologi

Teknologi bisa mengatasi hambatan para pelaku perikanan. Namun, untuk merubah penggunaan teknologi tradisional ke modern bukanlah hal yang mudah. Musim kemarau sudah datang, petani rumput laut akan senang. Sebab pundi-pundi rupiah akan bertambah seiring dengan rumput laut yang mengering diterpa sinar matahari. Pengumpul pun datang menjemput rumput laut kering para petani untuk digudangkan lalu dikirim ke industri pengolahan rumput laut, baik di pulau Jawa atau di luar negeri. Namun bila musim hujan tiba, para petani rumput laut terpaksa gigit jari, karena tak ada pemasukan, akibat tak bisa mengeringkan rumput laut. Padahal, saat musim hujan, harga rumput laut biasanya melonjak tinggi karena kurangnya stok yang siap jual. Semestinya di musim hujan, para petambak/petani rumput laut dapat memanfaatkan moment tersebut. Seandainya saja ada teknologi pengeringan rumput laut di musim hujan, para petambak tentu akan meraup pendapatan yang berlebih dan pelaku industri rumput laut pun

Resensi: Hidup Di Luar Tempurung, Ben Anderson

Image
gambar: marjinkiri.com Jangan mau jadi orang berpikiran sempit!              Begitu kira-kira pesan inti buku ini. Benedict Anderson menuliskan pengalaman hidupnya dalam buku setebal 202 halaman. Buku ini pertama kali diterbitkan di Jepang pada tahun 2009, dengan judul Yashigarawan no soto e. Kemudian pada tahun 2016 penerbit Marjin Kiri menerjemahkan naskah buku ini dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan judul Hidup Di Luar Tempurung.             Ben Anderson begitu sosok ini akrab di sapa. Ia merupakan seorang peneliti sosial yang khusus mempelajari wilayah di Asia Tenggara seperti Indonesia, Siam (Thailand), dan Filipina. Bab awal mengisahkan Ben kecil yang lahir di Tiongkok lalu berpindah ke Amerika Serikat. Namun tak lama setelah Nazi Jerman kalah, orangtua Ben memilih berangkat ke Irlandia dan menetap disana.             Pada bab awal ini, Ben juga bercerita panjang lebar mulai dari silsilah keluarganya hingga petualangannya di saat masih bersekolah. Cerita Ben