Dosen Juga Perlu Dikontrol
“Kalau laporannya hanya datang dari dosen-dosen saja rasanya kurang
lengkap. Apakah mereka (mahasiswa) mengerti apa yang dikuliahkan? Apakah mereka
merasa senang dan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru dari kuliah-kuliah?
Dan, bagaimanakah mereka menilai dosen-dosennya sendiri?”
“Dan secara pribadi saya bertanya, bagaimanakah pendapat-pendapatnya
tentang perkuliahan yang mereka terima? Ternyata banyak sekali yang tidak pas.
Ada dosen-dosen yang hanya memberikan kuliah 2 – 3 kali tiap semester, kemudian
memberikan buku-buku wajib: ...‘Coba saudara membuat paper dari buku wajib ini, hasil paper saudara saya samakan dengan angka ujian semester’.”
“Ternyata banyak dosen-dosen datang seenaknya. Kuliah jam 08.00 pagi, tapi
datang jam 09.00. mereka mengkorting kuliahnya 50%.”
“Ada dosen-dosen yang ternyata bodoh. Seorang dosen menyuruh menerjemahkan text book berbahasa Inggris. Tiap
mahasiswa dapat satu bab. Setelah diselidiki, ternyata dosen ini tidak mengerti
bahasa Inggris dalam text book
tersebut. Dari hasil terjemahan mahasiswa-mahasiswanya, ia mengajar.”
“Ada pula yang mengeluh soal pengangkatan asisten. Teman-teman yang bodoh
dan patuh pada pimpinan jurusan diangkat menjadi asisten. Dan kemudian disuruh
menjadi clerk jurusan, dengan tugas
asistensi untuk satu-dua mata kuliah. Kalau asistennya bodoh, maka
mahasiswa-mahasiswanya lebih bodoh lagi. Kadang-kadang untuk menunjukkan
kewibawaan guru-gurunya, asisten-asisten mahasiswa ini bertindak sebagai
tiran.”
“Terdapat kemunduran dalam bidang pendidikan. Sebagian karena salah
mahasiswa-mahasiswa sendiri. Mereka sering bolos dan nyontek, kalau disuruh
membuat paper atau pekerjaan rumah.
Tetapi sebagian juga karena salah dosen-dosen. Dosen-dosen juga banyak yang
bolos.”
“Saya sering mendengar cerita-cerita tentang tirani-tirani dosen. Dalam
hati saya berpikir, mengapa mereka tidak melawan dengan segala resiko? Tetapi
jawaban yang saya dapat biasanya: Kalau kita ditekan waktu ujian, siapa yang
akan membela kita?”
***
Tulisan di atas saya kutip dari artikel Soe Hok Gie, berjudul
Kenang-kenangan Bekas Mahasiswa: Dosen-Dosen Juga Perlu Dikontrol. Tulisan itu
disusun oleh Gie dari hasil survey dalam rangka evaluasi pendidikan di
lingkungan Fakultas Sastra UI tahun 1968.
Itu 50 tahun yang lalu. Ketika jumlah kampus di Indonesia hanya beberapa
saja. Tapi kini, saat jumlah kampus telah tumpah ruah, dari kampus negeri
hingga kampus swasta, pengalaman mahasiswa FSUI tahun 1968 masih terulang dan dirasakan
mahasiswa di tahun 2018.
Saat ini, masih banyak dosen yang bersifat tiran. Semaunya, seenaknya.
Mahasiswa ditekan, diancam, dipaksa tunduk patuh dan menghamba pada dosen. “Jangan
macam-macam dengan saya, sampai tiga semester saya tidak bakal luluskan kau!”
tegas dosen bergelar profesor yang pernah saya temui.
Kalimat mengancam itu dilontarkan sebagai dalih ingin mencerdaskan dan
mendisiplinkan mahasiswa. Dengan begitu, mahasiswa jadi takut. Bila melawan,
masa depan mahasiswa bakal suram. Nilai bakal diplintir, bimbingan skripsi akan
dihambat, dan wisuda pun tertunda bertahun-tahun lamanya.
Kampus seyogyanya merupakan rumah bagi pemuda berjiwa merdeka. Bukan
sebagai rumah untuk menumbuhkembangkan jiwa-jiwa kerdil, penuh dengan
ketakutan. Banyak mahasiswa terpaksa jadi babu sang dosen, agar bimbingan
skripsi lancar jaya. Itu pun tidak menjamin sang papa dosen akan senang. Dosen
terus mengeksploitasi ketakutan mahasiswa. Lantas, mahasiswa bisa apa?
Kata filsuf Inggris, Thomas Hobbes, nalar tiap manusia memang sudah
mengarahkan untuk menjauhi segala sesuatu yang dapat membahayakan hidupnya. Maka
menjilatlah para mahasiswa, berkata iyaiya di depannya, padahal dalam hati
merasa dongkol. Jadi, kalau begitu, bisa dibilang mahasiswa sudah terjajah sejak
dalam pikiran.
Saya ingin menukil salah dua pertanyaan Gie di atas: Apakah mahasiswa mengerti apa yang dikuliahkan? Apakah mahasiswa
merasa senang dan mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru dari kuliah-kuliah?
Semestinya, para dosen berinisiatif mencari jawaban dua pertanyaan itu, agar
mereka tahu bahwa selama ini perkuliahannya membuat (tak) senang atau (tidak)
mencerahkan mahasiswa dengan materi kuliahannya.
Bukankah prinsip belajar di lingkungan universitas ialah kemitraan?
Mahasiswa seharusnya tidak diperlakukan sebagai murid. Tidak ada relasi
memerintah, sebab mahasiswa sebagai mitra dan dosen bertugas membantu proses
belajar mitranya.
Memberi ancaman, lalu meninggikan wibawa dihadapan mahasiswa, membuat
relasi dosen-mahasiswa jadi berjarak. Mahasiswa takut, takut dan hormat.
Jangankan berdiskusi panjang lebar membahas sebuah teori, bertanya di kelas pun
mahasiswa enggan. Akibatnya, perkuliahan terasa hambar, tak ada dialog yang
mempertajam nalar.
Sungguh sejarah berulang. Mental inlander, mental terjajah, terus menerus
diproduksi ulang di tempat yang seharusnya mencerahkan jiwa agar merdeka. Mulai
dari zaman feodal/kolonial, melewati zaman Soe Hok Gie di tahun 1950-1960an,
hingga masa kini, ironi ini masih terjadi. Ini sebuah pengulangan saja.
Lantas, kapankah tirani yang mencengkram mahasiswa itu dapat diruntuhkan?
Kata M.T Zen dalam tulisan Gie: “Hanya mereka yang berani menuntut haknya,
pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa-mahasiswa Indonesia tidak berani
menuntut hak-haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh
dosen-dosen korup mereka,”
Referensi:
*Kenang-kenangan Bekas Mahasiswa: Dosen-Dosen Juga Perlu Dikontrol, Soe Hok
Gie, dalam buku Zaman Peralihan, Gagas Media, 2005.
Comments
Post a Comment