Posts

Resensi Aib dan Nasib - Minanto

Image
 Kalah pada Nasib, Hancur karena Aib Desa seringkali dianggap sebagai tempat hidup harmonis, damai dan tentram. Orang-orang desa digambarkan hidup dengan rukun, kerap bergotong royong dan saling bantu satu sama lain. Apalagi bila dibandingkan dengan kota, desa kerap disandingkan sebagai air yang tenang, dan kota sebagai api yang panas. Kehidupan desa yang tenang dan perbandingannya dengan kota, sering dijumpai dalam karya-karya Ahmad Tohari. Misalnya, dalam novel ‘Orang-orang Proyek’ (2002). Dalam novel ini, orang-orang desa yang menjadi objek pembangunan, dipaksa untuk berkompromi dengan permainan culas dari orang kota. Orang-orang desa mesti ‘berkonflik’ dengan entitas yang berasal dari luar kelompoknya. Lantas, apakah orang-orang desa tidak pernah berkonflik satu sama lain? Bagaimanakah wujud konflik itu? Tentu saja, sebagai mahluk sosial, orang-orang desa juga kerap terlibat konflik satu sama lain. Wujud konflik itu, tergambar jelas dalam novel berjudul ‘Aib dan Nasib’ karya Mi

Saudara Berdiri di Pihak yang Mana?

September 2019, Dr Wolfgang Knorr, seorang Ilmuwan geografi fisik dan ilmu ekosistem dari Universitas Lunds, Swedia, memilih mundur dari dunia akademisi. Ilmuwan yang meraih gelar doktornya di University of Hamburg and the Max-Planck-Institute for Meteorology ini mundur setelah 27 tahun berkarir di dunia akademik. Padahal, dalam perjalanan karirnya, Dr Wolfgang Knorr pernah menjadi pemimpin deputi di University of Bristol and the UK’s Natural Environment Research Council, sebuah lembaga riset yang berbasis di Inggris. Melihat pencapaian itu, tentu kita bertanya: mengapa ia berhenti dari dunia akademik? Dalam pernyataannya di Deutsche Welle, Dr Wolfgang Knorr menyampaikan bahwa dunia akademis selalu menuntut objektivitas, sedangkan ia merasakan adanya risiko besar dari krisis lingkungan yang terjadi di dunia. Dr Wolfgang Knorr pun tak kuasa membendung perasaan dan keinginannya untuk berpihak pada kelestarian alam. “Setiap hari saya duduk dalam rapat, berdebat skema energi baru terba

Review Ingrid Goes West; Melihat Pemanjat Sosial Beraksi

Image
  gambar; the new york times. Di era kiwari ini, kehidupan bahagia orang lain begitu sering dijumpai. Senyum ceria dan tawa bahagia yang dibekukan dalam sebuah potret, ataupun, kehidupan mewah bergelimang harta yang ditampilkan dalam bentuk video, lalu dipamerkan di lini masa sosial media, merupakan hal yang biasanya dijadikan sebagai ajang untuk mendapatkan atensi dan status sosial tertentu. Tapi, semua kemewahan yang ditampilkan di sosial media itu tidak hanya menghasilkan puja puji saja. Kesepian dan tingkah konyol adalah sisi lain dari perebutan perhatian di lini masa. Seperti yang dilakukan Ingrid Thorburn, seorang tokoh rekaan dalam film Ingrid Goes West (2017). Ingrid rela memanipulasi dirinya agar bisa berteman dan menjalani hidup sempurna bersama idolanya. Aubrey Crhistina Plaza yang berperan sebagai Ingrid dalam film ini, digambarkan sebagai perempuan muda dengan emosi yang tidak stabil. Akibat kecanduan dan terlalu sering melihat kehidupan bahagia orang lain lewat sosial

Birokrasi Jangan Hilang Empati

Hanya mesin yang tak punya rasa empati Seorang petani menggunakan mesin traktor untuk membajak sawah. Maka sudah pasti sang petani amat dimudahkan, sawah yang dibajak menjadi gembur dengan cepat. Walau begitu, sang petani tetap menjadi pengontrol mesin traktor itu, ia tetap bisa mengarahkan traktor ke bagian lahan yang akan digemburkan. Lain lagi di sebuah kota, seorang ibu rumah tangga menggunakan mesin cuci otomatis. Ia tak perlu lagi mengeluarkan tenaga untuk menimba air, mengucek baju, lalu memerasnya untuk dijemur. Ia hanya perlu mencolok kabel listrik dan menekan beberapa tombol untuk membuat baju keluarganya bersih. Betapa mudahnya. Hingga suatu ketika, sang petani dan ibu rumah tangga itu menghadapi sebuah kejadian yang tidak diinginkan. Mata sang petani tiba-tiba silap, hingga traktornya hampir menabrak anaknya yang bermain di sawah. Begitu juga dengan ibu rumah tangga, anak balitanya bermain di dekat mesin cuci yang menyala, hingga jatuh dan terperangkap di dal

Mengapa Kita Enggan Bertanya Di Perkuliahan?

‘ Ada yang ingin bertanya? ’ Seorang moderator melemparkan kalimat di atas, setelah tiga pemateri selesai menyampaikan bahan diskusi. Namun, kalimat tanya itu tak berbalas. Di antara puluhan peserta diskusi yang datang, tak satu pun yang mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan itu. Sejenak, semua orang jadi diam. Hening. Hingga beberapa saat kemudian, salah satu pemateri berguyon bahwa kalimat ‘ada yang ingin bertanya’ termasuk dalam daftar pertanyaan yang sangat ditakuti. Pemateri itu bilang, pertanyaan tadi bisa membuat jantung berdegup kencang, sebab kepala dipenuhi pertanyaan atau pendapat yang hendak disampaikan tapi terus ditahan-tahan. Semua tertawa. Suasana jadi cair. Satu peserta pun acungkan tangan, dan mulai bertanya. Tapi, hingga acara usai, goyonan dari sang pemateri terus dilontarkan dan menyindir semua peserta dikusi. Suasana ini memang jamak dijumpai. Seperti di seminar, talkshow, dialog public, workshop pelatihan hingga di ruang kelas perkuliahan. Seba

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Image
Belajar Merdeka Sejak Hati Foto: dokumentasi pribadi Siapa yang menyangka Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dulunya pernah menjadi anak jalanan, penjual es lilin, petinju dan bahkan ikut dalam geng motor. Saya pun baru tahu semua itu, setelah membaca biografi Lafran Pane yang ditulis dengan gaya novel oleh Ahmad Fuadi. Merdeka sejak hati. Itulah judul novel biografi Lafran Pane. Sebuah judul yang sangat pas mengambarkan karakter Lafran dalam buku ini. Sebab sepanjang 356 halaman, novel biografi ini menyiratkan pesan kuat perihal perangai merdeka Lafran Pane; merdeka raga, merdeka jiwa dan merdeka hati. Sejak dari kecil, Lafran telah menampakkan karakter bebas merdeka, tidak ingin diatur-atur. Salah satu adegan yang menyiratkan hal itu ketika Lafran diajak tinggal di rumah neneknya dari pihak ibu. Tapi, Lafran kecil tak mau, bukannya ia tak sayang pada neneknya, ia hanya tak tahan pada banyaknya aturan di rumah neneknya. “Nenekku pernah pula mengaj

Pohon dalam Dua Cerita

Image
Foto: Pangeran P Muda. Setiap karya sastra tentu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Lewat medium tulisan, seorang penulis akan berkomunikasi dengan pembaca. Tentu saja sang penulis ingin menyampaikan ide, gagasan dan hasil perenungan mengenai kenyataan di sekitarnya. Tiga hal itu akan tersampaikan ke pembaca jikalau penulis mengemas karyanya dengan menarik dan apik. Pesan seorang penulis yang tersirat dalam karyanya, biasanya, akan mencerminkan nilai-nilai, kecenderungan pemikiran dan pandangan hidupnya. Namun, karya sastra dapat juga menjadi upaya penyampian keresahan-keresahan dan kemuakkan penulis pada lingkungan sekitarnya atau suatu hal. Selain itu, penggambaran dalam karya sastra juga bakal memuat simbol-simbol yang sengaja ditampilkan agar pembaca dapat menangkap pesan dari sang penulis. Karya sastra yang baik, akan menampilkan pesan universal. Pesan yang dapat dipahami semua kalangan. Isi pesan-pesan itu dapat memuat berbagai tema, seperti kemiskinan, kemanusi