Saudara Berdiri di Pihak yang Mana?
September 2019, Dr Wolfgang Knorr, seorang Ilmuwan geografi fisik dan ilmu ekosistem dari Universitas Lunds, Swedia, memilih mundur dari dunia akademisi. Ilmuwan yang meraih gelar doktornya di University of Hamburg and the Max-Planck-Institute for Meteorology ini mundur setelah 27 tahun berkarir di dunia akademik. Padahal, dalam perjalanan karirnya, Dr Wolfgang Knorr pernah menjadi pemimpin deputi di University of Bristol and the UK’s Natural Environment Research Council, sebuah lembaga riset yang berbasis di Inggris. Melihat pencapaian itu, tentu kita bertanya: mengapa ia berhenti dari dunia akademik?
Dalam pernyataannya di Deutsche
Welle, Dr Wolfgang Knorr menyampaikan bahwa dunia akademis selalu menuntut
objektivitas, sedangkan ia merasakan adanya risiko besar dari krisis lingkungan
yang terjadi di dunia. Dr Wolfgang Knorr pun tak kuasa membendung perasaan dan
keinginannya untuk berpihak pada kelestarian alam.
“Setiap hari saya duduk dalam
rapat, berdebat skema energi baru terbarukan dan lainnya. Di kereta saat
perjalanan pulang, Anda membaca koran tentang perubahan iklim, tetapi halaman
berikutnya adalah berita ekonomi tentang ekspansi dan pertumbuhan produk
domestik bruto. Pada saat itu menjadi jelas bagi saya, bahwa ada dikotomi
antara pekerjaan dan apa yang terjadi di seluruh dunia.” jelas Dr Wolfgang
Knorr yang dilansir dari Deutsche Welle. Setelah berhenti dari dunia akademik, Dr
Wolfgang Knorr lantas beralih menjadi aktivis lingkungan hidup.
Di kampus merah, kita juga pernah
mendengar, beberapa ilmuwan yang berhenti dari dunia akademik. Hanya saja,
mereka tidak beralih menjadi pejuang lingkungan hidup. Tetapi berubah haluan, dari
dunia akademik menuju ke politik. Beberapa dari mereka dapat jabatan jadi
pemimpin daerah, menjadi pengambil kebijakan yang menentukan hidup orang
banyak. Dengan latar belakang sebagai akademisi dan punya dasar keilmuan yang
kuat, harapan besar digantung di pundak mereka.
Tetapi, harapan tinggal harapan. Beberapa
kebijakan yang diambil oleh politisi berlatar belakang akademisi itu terkesan tak
mengindahkan kelestarian alam dan merugikan rakyat kecil. Seperti kebijakan
pemberian izin tambang pasir untuk reklamasi yang ditolak oleh nelayan, tetapi tetap
dijalankan dengan alasan pertumbuhan ekonomi.
“Ini akan memberikan pertumbuhan
ekonomi, bayangin kalau industry berkembang, berapa lapangan kerja terserap,
kalau mereka ini cuman lingkungan saja, apa yang dirusak?” ujar sang pemimpin
di media lokal.
Ketika membaca pernyataan di atas,
saya tertegun, sebab pernyataan sang pemimpin daerah itu, terdengar sangat
antroposentris. Seolah menetapkan manusia sebagai pusat alam semesta. Demi
pertumbuhan ekonomi, mereka merasa berhak melakukan apa pun terhadap apa yang
ada di sekitarnya. Watak seperti itu menunjukkan cara pandang superior manusia terhadap
alam semesta.
Berbanding terbalik dengan sang
pemimpin daerah, Dr Wolfgang Knorr malah merasa ngeri melihat ekspansi dan
pertumbuhan ekonomi. Seolah ia merasa perlu bertanggung jawab dan berbuat
sesuatu untuk melindungi alam.
Pertumbuhan ekonomi dan
kelestarian lingkungan memang bagai dua kutub yang saling berlawanan. Ekonomi
tak dapat tumbuh jika eksploitasi sumber daya alam dihentikan. Sedangkan alam
akan lestari apabila dimanfaatkan secukupnya dan seperlunya. Walau beberapa
dari kita mencoba mencari jalan tengah agar keduanya bisa berjalan beriringan.
Tetapi, sikap abu-abu seperti itu tetap menimbulkan pengaruh, yang akibatnya
sedikit demi sedikit diakumulasi oleh alam hingga mencapai batasnya. Dari kedua
tokoh itu, kita jadi tahu bahwa, sejumlah ilmuwan berpihak kepada yang
berkuasa, dan beberapa yang lain berpihak kepada yang dikuasai. Melihat kenyataan
ini, kita mungkin perlu membaca kembali pertanyaan-pertanyaan WS Rendra;
“Maksud baik saudara untuk
siapa? Saudara berdiri di pihak yang mana? Kita ini dididik untuk memihak yang
mana? Ilmu-lmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan ataukah alat
penindasan?”
Ya, tiap-tiap pilihan memang
punya maksud baik. Tetapi apabila ada rasa gamang di dalam diri, maka penggalan
kalimat Pramoedya Ananta Toer ini saya kira bisa jadi jawaban; “Kau terpelajar,
cobalah bersetia pada kata hati!”
Comments
Post a Comment