Birokrasi Jangan Hilang Empati
Hanya
mesin yang tak punya rasa empati
Seorang
petani menggunakan mesin traktor untuk membajak sawah. Maka sudah
pasti sang petani amat dimudahkan, sawah yang dibajak menjadi gembur
dengan cepat. Walau begitu, sang petani tetap menjadi pengontrol
mesin traktor itu, ia tetap bisa mengarahkan traktor ke bagian lahan
yang akan digemburkan.
Lain
lagi di sebuah kota, seorang ibu rumah tangga menggunakan mesin cuci
otomatis. Ia tak perlu lagi mengeluarkan tenaga untuk menimba air,
mengucek baju, lalu memerasnya untuk dijemur. Ia hanya perlu mencolok
kabel listrik dan menekan beberapa tombol untuk membuat baju
keluarganya bersih. Betapa mudahnya.
Hingga
suatu ketika, sang petani dan ibu rumah tangga itu menghadapi sebuah
kejadian yang tidak diinginkan. Mata sang petani tiba-tiba silap,
hingga traktornya hampir menabrak anaknya yang bermain di sawah.
Begitu juga dengan ibu rumah tangga, anak balitanya bermain di dekat
mesin cuci yang menyala, hingga jatuh dan terperangkap di dalamnya.
Kalian
pasti bisa menebak apa yang akan dilakukan sang petani dan ibu rumah
tangga itu. Menyelamatkan anaknya? Ya, tentu saja, setiap manusia
yang sadar tentu akan berpikir begitu. Bila tidak, maka boleh dikata
anda bukanlah seorang manusia, melainkan seonggok mesin yang tak
memiliki rasa kemanusiaan.
Sang
petani akan membelokkan traktor begitu ia sadar anaknya akan terkena
bahaya. Ibu rumah tangga akan cepat mencabut kabel mesin cuci dari
aliran listrik, lalu menyelamatkan anaknya. Keduanya tetap memegang
kendali pada mesin yang membantu mereka, bukan sebaliknya.
Saya
kira begitulah semestinya pejabat birokrasi bekerja. Tidak hanya
sekadar mengikut pada mesin, standar operasional dan sistem saja.
Tidak. Sebab seringkali ada hal-hal yang luput dalam pembuatan, juga
saat sistem dan standar operasional itu dijalankan.
Tengok
saja peristiwa yang dialami Supriyadi, yang menggendong jenazah
keponakannya, Husain, dari puskesmas Cikokol, Tangerang, ke rumahnya.
Peristiwa ini sempat ramai diberitakan, setelah video Supriyadi
tersebar luas di dunia maya (baca tirto.id). Jenazah Husain terpaksa
dibopong oleh sang paman, karena pihak kepala puskesmas tidak
memberikan mobil ambulance dengan alasan “tidak sesuai SOP (Standar
Opersional Prosedur)”. Sungguh suatu alasan birokratis yang tak
punya rasa empati.
Walau
begitu, sudut pandang birokrasi yang melulu melihat pada standar
opersional memang jadi alasan yang benar dari segi aturan. Tetapi,
tidakkah sang kepala puskesmas beserta jajarannya bersimpati kepada
jenazah Husain? Dan, tidakkah mereka mempunyai rasa iba lalu memberi
solusi yang lebih manusiawi? Atau, sudah sebesar itukah rasa tega di
dalam dada para pejabat birokrasi yang menghamba pada sistem dan
standar opersional itu? Sehingga membiarkan jenazah Husain dibopong
begitu saja tanpa diberi angkutan yang layak? Di sinilah seharusnya
rasa kemanusiaan mengambil peran. Bukannya melulu bicara tentang
sistem dan standar operasional laiknya mesin, lantas tidak
mengindahkan orang-orang yang akan terkena kesulitan dan bahaya
karenanya. Sungguh tidak elok bila seperti itu.
Saya
yakin, kawan-kawan mahasiswa juga tidak ingin bertemu dan berkasus
dengan pejabat birokrasi semacam kepala puskemas tersebut. Sebab
mesin tidaklah mengenal simpati dan empati. Mesin akan bekerja sesuai
standar opersional yang berlaku. Robot akan bekerja sesuai program
algoritmanya. Sedangkan manusia tidaklah seperti itu, manusia memang
bisa mencipta sistem, standar opersional, algoritma dan lain
sebagainya, tapi manusia tidak semestinya menjadi mesin dan robot
seperti apa yang diciptakannya.
Penghambaan
yang berlebih pada sistem dan standar operasional akan menghilangkan
empati dan rasa kemanusiaan. Padahal fungsi sistem dan standar
operasional bukanlah untuk menyusahkan dan mempersulit, melainkan
untuk memudahkan agar kerja-kerja agar lebih efisien. Maka semestinya
pejabat birokrasi kita di kampus merah bekerja sebagai manusia dengan
rasa simpati dan empati terhadap para mahasiswi-mahasiswa.
Sebagaimana sang petani dan ibu rumah tangga menyelamatkan anaknya
dari mesin yang akan membuat celaka. Sang petani dan ibu rumah tangga
tetap memegang kendali terhadap mesin yang mereka gunakan untuk
mempermudah pekerjaan, bukan sebaliknya.
Comments
Post a Comment