Resensi Aib dan Nasib - Minanto

 Kalah pada Nasib, Hancur karena Aib

Desa seringkali dianggap sebagai tempat hidup harmonis, damai dan tentram. Orang-orang desa digambarkan hidup dengan rukun, kerap bergotong royong dan saling bantu satu sama lain. Apalagi bila dibandingkan dengan kota, desa kerap disandingkan sebagai air yang tenang, dan kota sebagai api yang panas.

Kehidupan desa yang tenang dan perbandingannya dengan kota, sering dijumpai dalam karya-karya Ahmad Tohari. Misalnya, dalam novel ‘Orang-orang Proyek’ (2002). Dalam novel ini, orang-orang desa yang menjadi objek pembangunan, dipaksa untuk berkompromi dengan permainan culas dari orang kota. Orang-orang desa mesti ‘berkonflik’ dengan entitas yang berasal dari luar kelompoknya. Lantas, apakah orang-orang desa tidak pernah berkonflik satu sama lain? Bagaimanakah wujud konflik itu?

Tentu saja, sebagai mahluk sosial, orang-orang desa juga kerap terlibat konflik satu sama lain. Wujud konflik itu, tergambar jelas dalam novel berjudul ‘Aib dan Nasib’ karya Minanto. Novel yang menjadi pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2019 ini, membuyarkan pandangan kehidupan desa yang dianggap harmonis, damai dan tentram.

Novel ini berisi fragmen-fragmen pendek yang bercerita tentang orang-orang desa yang kalah pada nasib. Pada bab awal, lima tokoh berbeda yang memiliki kisah masing-masing, menjadi pengantar untuk menyelami kehidupan Desa Tegalurung dan Tegalsembadra. Kisah lima tokoh itu awalnya memang sedikit membingungkan, sebab saya kira masing-masing tokoh punya kisah sendiri. Apalagi teknik penceritaannya menggunakan alur maju mundur.

Tetapi, memasuki bab-bab selanjutnya, para tokoh itu mulai saling bersinggungan dan mulai menampakkan benang merah cerita. Lewat kelima tokoh itu, Minanto mengangkat berbagai persoalan, seperti hubungan anak dan orang tua, hubungan antar tetangga, hingga hubungan asmara. Semua persoalan itu, dibalut dalam satu tema besar, yakni kemiskinan!

Tema besar itu dapat dilihat dari nasib yang menimpa tokoh bernama Mang Sota, yang mesti merelakan gubuknya dihimpit oleh pembangunan parit dan rumah ibadah. Ada pula tokoh lain, seorang remaja bernama Boled Boleng, yang hampir membunuh ibunya dan rela melakukan apa saja demi bisa bermain gawai. Kemalangan lain menimpa Eni, seorang istri yang harus merantau ke Brunei, untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita.

Gambaran kemiskinan itu diceritakan secara wajar, dengan latar pengisahan yang logis. Sehingga tidak menimbulkan kesan melodramatis. Gaya bercerita Minanto yang ringan membuat pembaca mudah untuk merasakan pengalaman para tokohnya.

Novel setebal 263 halaman ini, bukan saja mengulas hidup orang-orang desa yang kalah pada nasib. Tetapi, Minanto juga menampilkan hidup orang-orang yang hancur karena aib. Sosok Gulabia, Kicong dan Kartono, adalah tokoh-tokoh yang mengalami hal itu. Sebagaimana fenomena kiwari, Minanto menyelipkan kisah mengenai aib yang tersebar di media sosial. Gegara Aib itu, hidup Gulabia seketika berubah. Begitu pun dengan Kicong dan Kartono.

Fenomena menarik yang diangkat Minanto juga tersaji dalam sosok Kaji Basuki, seorang Caleg dan pria kaya di Desa Tegalsembadra. Ia menanggung aib sebagai Caleg gagal, sehingga berimbas pada hidup orang-orang di sekitarnya. Minanto sungguh cerdik menyampaikan dampak kegiatan politik yang dirasakan orang-orang desa. Pada bagian ini, saya teringat dengan fragmen di karya Ahmad Tohari, yang menggambarkan orang desa hanya sebagai penggembira saat ada kegiatan politik. Sungguh, keduanya amat cerdik menyampaikan kritik.

Pada bab-bab terakhir, pembaca akan menemukan kisah-kisah tragis yang terjalin oleh satu benang merah. Mereka yang kalah pada nasib, pada akhirnya harus memilih, lari dari kenyataan atau memilih hancur bersama aib. Selamat membaca!

Comments

Popular posts from this blog

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi Novel: Tempat Paling Sunyi - Arafat Nur