Resensi: Hidup Di Luar Tempurung, Ben Anderson

gambar: marjinkiri.com
Jangan mau jadi orang berpikiran sempit!
            Begitu kira-kira pesan inti buku ini. Benedict Anderson menuliskan pengalaman hidupnya dalam buku setebal 202 halaman. Buku ini pertama kali diterbitkan di Jepang pada tahun 2009, dengan judul Yashigarawan no soto e. Kemudian pada tahun 2016 penerbit Marjin Kiri menerjemahkan naskah buku ini dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan judul Hidup Di Luar Tempurung.
            Ben Anderson begitu sosok ini akrab di sapa. Ia merupakan seorang peneliti sosial yang khusus mempelajari wilayah di Asia Tenggara seperti Indonesia, Siam (Thailand), dan Filipina. Bab awal mengisahkan Ben kecil yang lahir di Tiongkok lalu berpindah ke Amerika Serikat. Namun tak lama setelah Nazi Jerman kalah, orangtua Ben memilih berangkat ke Irlandia dan menetap disana.
            Pada bab awal ini, Ben juga bercerita panjang lebar mulai dari silsilah keluarganya hingga petualangannya di saat masih bersekolah. Cerita Ben Anderson kecil juga dilatarbelakangi dengan suasana perang dingin dan perang dunia ke 2. Selain itu, suasana dimana teknolgi yang belum maju juga dikisahkan dengan baik oleh Ben Anderson. “Saya juga dibesarkan pada masa sebelum televisi. Jadi kami banyak mendengarkan radio-medium yang memungkinkan kami menikmati hiburan sambil tetap mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, menggarap PR, main kartu atau main catur” ujarnya.
            Sebelum memulai bab awal, Ben Anderson menuliskan prakata yang mengingatkan buku ini rada melebar ke mana-mana. Hanya ada dua tema pokok yang ingin disampaikan Ben, yaitu, pertama pentingnya terjemahan bagi perorangan dan masyarakat. Kedua, bahayanya sifat kedaerahan yang arogan, atau lupa bahwa nasionalisme harus bertaut dengan internasionalisme.
            Peringatan Ben terbukti benar. Buku ini rada melebar ke mana-mana. Bab dua membahas awal mula Ben menjadi akademisi di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Tak hanya itu, bab ini juga membahas perubahan politik, perekonomian, lembaga-lembaga dan struktur kebijakan pendidikan terkait program kajian wilayah Asia Tenggara di Universitas Cornell.
            Ketertarikan Ben Anderson pada kajian wilayah Asia Tenggara bermula dari kuliah-kuliah yang dibawakan George Kahin. Seorang profesor dengan minat besar terhadap Asia Tenggara khususnya Indonesia. Ben Anderson bahkan mengakui peran besar Kahin dalam karirnya. Ia mengatakan dalam tahun pertama di Universitas Cornell bahwa “Saya telah memutuskan apa yang hendak saya perbuat dalam hidup : menjadi profesor, menggarap riset, menulis dan mengajar. Dan mengikuti jejak Kahin dalam orientasi akademik maupun politik” ujarnya pada halaman 31.
            Ben Anderson pun beralih dari studi klasik bahasa dan sastra ke bidang studi baru, yaitu kajian wilayah. Perpindahan ini membuatnya harus mengakrabi sebuah dunia baru. saat itu, belum banyak literatur yang membahas daerah-daerah di Asia Tenggara. Selain itu, sebagai peneliti baru, di bidang studi baru, Ben pun harus turun ke lapangan. Ia tiba di Jakarta akhir Desember 1961.
            Gegar budaya sontak dirasakan Ben kala melakukan kerja lapangan. Mulai dari penampilan segerombolan anak yang bermain bola tanpa celana hingga perempuan gila yang dikasihi masyarakat, membuatnya takjub. Ia lantas membandingkan kondisi sosial Indonesia dengan Amerika. Menurutnya betapa berbedanya kedua negara ini. Orang gila di Amerika dikurung dalam rumah sakit jiwa sedangkan di Indonesia orang gila bisa bepergian dan masyarakat dengan sukarela memberi makan.
            Ben Anderson banyak menemukan hal-hal baru dari kerja lapangannya di Indonesia, Siam, dan Filipina. Bahasa, Relasi, hingga Anak angkat berhasil ia peroleh dari kerja lapangan. Ketika ia dicekal rezim Soeharto, anak angkatnya Abel, Beni dan Yudi menjadi penjaga keterikatanya dengan Indonesia. Selain itu, Ben Anderson mampu memecahkan “tempurung” yang kerap hinggap di kepala peneliti-peneliti Eropa. “Tempurung” itu ialah sifat etnosentrisme yang selalu tidak mengakui kelebihan bangsa lain.
             Menurut saya, buku ini cukup menarik. Mengetahui kisah hidup seorang peneliti yang bisa meruntuhkan batasan-batasan (sifat etnosentirsme dan bahasa) yang membelenggu kebanyakan peneliti (khususnya barat) sangat bermanfaat bagi peneliti atau calon peneliti untuk belajar Hidup Di Luar Tempurung. Seperti pesan Ben pada halaman 185 ini “Para peneliti muda harus berpikir serius tentang dampak-dampak dari proses interaktif antara nasionalisme dan globalisasi, yang keduanya punya cara untuk membatasi cakrawala dan menyederhanakan permasalahan.”
            Selain keberhasilan Ben mengisahkan hidupnya. Saya juga ingin mengapresiasi Rony Agustinus sebagai penerjemah buku ini. Terjemahan yang mengalir dan tidak kaku berhasil ia lakukan. Walaupun buku ini rada melebar ke mana-mana, namun memorial Benedict Anderson ini patut untuk di baca kalangan akademisi.
Selamat Membaca

          Dimuat pertama kali di koran kampus identitas Unhas tahun 2016

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa