Orang Tua dan Pandangan Hidup Sang Anak
gambar: fortune.com |
Main kelereng, layang-layang dan main bola di tanah lapang ialah permainan
yang paling sering saya mainkan saat kecil. Saat itu, saya merasa bangga ketika
membawa pulang sekantung kelereng milik kawan yang terlihat kesal karena kalah.
Dan sebaliknya, marah atau malu mengausai diri saat layang-layang yang
susah-susah diterbangkan, putus saat benang layangan kita beradu dengan benang
mahal milik teman saya. Jika hal itu terjadi, seringkali salah satu dari kami
(biasanya yang kalah) akan mulai mengejek latar belekang orang tua (nama, suku,
pekerjaan dan agama) atau saling menyebut ‘kelebihan’ diri yang dimiliki. Seperti
“Anak Jawa!” “Dasar onta!” “Mata sipit!” “La’ba toli! (telinga besar!)”,
“Le’leng pui’! (dasar hitam!)” “Bapak mu polisi tidur!” dan masih banyak lagi.
Tapi seperti itulah permainan. Ada menang, ada kalah. Ada yang bangga, juga
ada yang marah. Namun, saat itu, ketika saling ejek, saya dan kawan tentu belum
mengerti dan belum tahu bahwa kita saling mengejek dan menertawakan hal yang
sangat rawan memancing konflik besar itu.
Lantas, di mana peran orang tua saat itu? Sebagian orang tua menganggap ejekan
seperti itu hal biasa dan tak peduli. Ada pula sebagian orang tua yang marah
hingga mendatangi rumah kawan anaknya karena tersinggung pada kata-kata mengejek
seperti di atas.
***
Refleksi pengalaman masa kecil di atas saya tuliskan setelah membaca novel
berjudul To Kill Mockingbird. Novel yang ditulis oleh Harper Lee ini pernah
jadi pemenang pulitzer tahun 1961. Harper Lee memakai sudut pandang anak kecil
dalam memandang masalah rasisme di Amerika.
Jean Louise Scout, nama anak kecil itu. Scout dibesarkan oleh ayahnya,
Aticus. Dalam novel ini, Aticus sangat berperan membentuk pandangan hidup
anaknya. Membuat anaknya paham akan pentingnya menjaga kehidupan bersama orang
lain.
“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala
sesuatu dari sudut pandangnya... hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan
menjalani hidup dengan caranya,”
Begitulah salah satu pesan Aticus kepada anaknya. Bukan hanya itu, Aticus
juga menyampaikan ke anaknya untuk senantiasa menghargai setiap pendapat orang
lain. Lihatlah percakapan Aticus dengan kakak Scout, bernama Jem berikut ini (hal
206):
“Yah, sepertinya sebagian besar orang merasa benar dan kau salah..” kata
Jem.
Aticus menjawab, “Mereka berhak berpikir begitu, dan mereka berhak untuk
dihormati pendapatnya.”
Percakapan itu bermula saat Jem menyayangkan ayahnya membela seorang Negro
(manusia berkulit hitam) di pengadilan. Masa itu, Negro di Amerika memang
dianggap binatang dan membela seorang Negro menurut kebanyakan orang Amerika ialah
sebuah kesalahan. Aticus mampu memahamkan anaknya, Scout dan Jem, tentang
pentingnya hidup rukun sesama manusia.
“Kau tahu sesuatu Scout? Aku sudah mengerti sekarang. Aku banyak memikirkan
akhir-akhir ini dan aku mengerti sekarang. Ada empat jenis manusia di dunia.
Ada jenis biasa seperti kita dan para tetangga, ada jenis seperti Cunningham di
hutan, jenis seperti Ewell di tempat pembuangan sampah, dan orang Negro,” kata
Jem.
Setelah saling bercakap tentang hal itu, Scout menjawab tegas kepada Jem. “
Tidak, Jem, kukira hanya ada satu jenis manusia. (yaitu hanya) manusia.”
Jem membisu sejenak dan berkata. “Pikirku juga begitu... kalau hanya ada
satu jenis manusia, mengapa mereka tidak bisa rukun? Kalau mereka semua sama,
mengapa mereka merepotkan diri untuk saling membenci? Scout, kurasa aku mulai
mengerti...” (hal 429-430).
***
Kutipan percakapan di atas memang hanya fiksi, hanya imajinasi Harper Lee
yang dituliskan dalam sebuah novel. Tetapi sungguh indah jika setiap orang tua
di dunia nyata mampu seperti Aticus. Mengajarkan anaknya untuk belajar hidup
bersama tanpa melihat latar belakang orang lain. Tanpa memandang warna kulit,
agama, pekerjaan, atau pun keturunan seseorang.
Namun, kenyataannya, masih banyak orang tua yang bukannya mengajarkan untuk
hidup rukun dalam perbedaan, malah memperkeruh pikiran anaknya. Seperti
melarang anaknya bergaul dengan anak yang beda agama atau anak suku tertentu.
Penjelasan orang tua sangat dibutuhkan untuk membentuk pandangan hidup
seorang anak sejak kecil. Saat anak saling ejek dengan membawa latar belakang
suku, agama dan warna kulit, orang tua harus mengambil peran menjelaskan bahwa
perbedaan itu untuk saling mengenal, bukan untuk ditertawakan atau dimusuhi.
Selain penjelasan, tingkah laku orang tua juga akan jadi bahan untuk
membentuk pendangan hidup sang anak. Seperti Aticus yang mencontohkan pada
anaknya untuk membela siapa pun juga yang tidak bersalah, meskipun dia seorang
Negro. “Satu hal yang tidak tunduk pada mayoritas adalah nurani seseorang.”
kata Aticus.
Saya dan kawan saat kecil tentu belum mengerti dengan ejekan rasial yang
kami ucapkan. Padahal sebelumnya, kami bermain bersama dan tak ada pemisah,
walau beda kulit, suku dan agama. Semuanya membaur.
Ejekan seperti itu tidak langsung muncul dan diucapkan, mungkin kami pernah
mendengar ujaran-ujaran tersebut di lingkungan masing-masing (keluarga, sekolah,
tetangga dan media). Dan orang tua yang tersulut emosinya karena ejekan rasial
semacam itu pastinya memiliki sumbu pikiran yang pendek. Mudah meledak. Tingkah
laku seperti ini bukan tidak mungkin akan diikuti oleh sang anak. Mudah marah
dan menilai kelompok masyarakat tertentu sebagai musuh. Pendangan hidup sang
anak pun penuh dengan kebencian. Tiap-tiap orang di luar kelompoknya atau berbeda
pemikiran dengannya akan dicap salah.
Seandainya saja tiap orang tua berkata pada anaknya: “Tempatkan dirimu di
posisi orang lain saat kau ingin berbuat sesuatu kepadanya, rasakan apa yang
mereka rasa, coba lihat dengan sudut pandangnya.” Maka peristiwa keji
menghilangkan nyawa manusia yang melibatkan anak mungkin tidak akan pernah ada.
Saya membayangkan ke depan, orang tua yang berpikiran seperti Aticus
semakin banyak di bumi nusantara. Dan berlanjut melahirkan anak seperti Scout
dan Jem kemudian beranak pinak melahirkan keturunan yang memiliki pandangan
hidup yang sama. Zaman bisa maju, keyakinan boleh saja berbeda, tapi pandangan
hidup tiap keturunan harus tetap berpegang pada kemanusiaan. Demi mencapai hal
itu, maka harus dimulai dari keluarga, dari para orang tua.
Catatan: Le’leng pui’ dan la’ba toli merupakan bahasa Makassar.
Ditulis di Makassar Mei 2018, beberapa pekan setelah
peristiwa bom Surabaya
Comments
Post a Comment