Pilihan Ketiga yang Diambil Lelaki Tua

dokumentasi pribadi.
Di beranda rumah panggung khas Bugis, selepas menerima panggilan telepon, seorang berkopiah hitam duduk. Sorot mata lelaki tua itu tajam. Seolah ada benda di atas sana yang ia pandangi lekat-lekat. Beberapi kali ia menghela nafas. Mencoba menenangkan diri. Bahkan riuh anak kecil di jalan depan rumahnya sama sekali tidak menarik perhatiannya.

Lelaki tua itu pun beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkah perlahan di atas lantai kayu yang berderit setiap kali kaki memijak. Bila orang lain yang berjalan di atas rumah lelaki tua itu, mungkin saja orang itu akan bergidik ketakutan. Was-was. Bagaimana tidak, lantai rumah itu sudah tidak kokoh lagi. Ruas-ruas bekas santapan rayap telah tampak di sana sini. Jika kaki terlalu kuat berpijak atau kalau sengaja ditekan kuat-kuat, maka akan terdengar bunyi kreks! Seperti suara kerupuk atau wafer saat pertama kali dikunyah.

Rumah panggung miliknya memang sudah tua. Ia membangun rumah itu ketika usianya hampir mencapai kepala tiga, saat usia pernikahannya baru berjalan dua tahun, juga selepas pemilihan umum yang hanya diikuti tiga partai. Kini, setelah lima kali pergantian presiden dan buah hati semata wayangnya telah dewasa dan sudah pergi merantau, rumah kayu itu masih bertahan tanpa pernah dipugar sama sekali.

Sedari tadi, lelaki tua itu keluar dari rumahnya. Di perjalanan, ingatannya tentang bagaimana rumah itu dibuat sekelabat muncul. Ketika itu, selama setahun, ia bersama tujuh temannya merambah hutan guna mencari pohon bitti, pohon amara dan pohon jati. Berbekal dua gergaji besar, empat kapak dan tujuh parang, mereka menebang lalu membuat kayu dari pohon-pohon itu menjadi tiang, balok dan papan. Berkat kerja kerasnya itu, ia berhasil mengumpulkan sejumlah tiang kayu, balok dan papan yang dibutuhkan oleh sanro, panrita dan panre bola untuk membuat rumah.

Lalu ingatan lelaki tua itu buyar, tatkala ia tiba di depan rumah Petta Desa. Sendal jepitnya pun ia buka. Kakinya meniti tangga, menapak menuju pintu rumah. Tidak lama setelah mengetuk pintu dan memberi salam, dari dalam rumah, seorang menjawab salamnya dan bergegas menuju teras rumah tempat lelaki tua tadi menunggu. Basa basi pun diumbar setelah mereka berdua berjabat tangan. Kemudian lelaki tua itu mulai menyampaikan maksud dan tujuannya.

“Tabik Petta, saya ke sini mau cari tahu, setiap kapankah itu polisi hutan datang? Saya mau perbaiki rumah, saya butuh kayu untuk ganti papan yang dimakan rayap, saya mau panggil pasenso untuk cari kayu di hutan.”

“Wah sekarang sudah tidak bisa tebang pohon di hutan Pak. Daerah ta ini sudah masuk hutan lindung dan taman nasional, bisa ki ditangkap kalau ditahu ki Pak! Polisi hutan memang tidak sering datang, tapi orangnya taman nasional itu sering sekali datang Pak.”

“Jadi bagaimana dengan rumahku? Kalau begitu tidak bisa saya perbaiki itu, di mana saya mau dapat uang untuk beli papan kayu? Panen tahun ini hasilnya tidak banyak Petta.”

Lelaki tua itu pulang dengan hati dongkol. Petta Desa hanya menyarankan untuk hati-hati dengan polisi hutan dan petugas taman nasional, lain tidak. Dalam pikirannya, di perjalan pulang ke rumah, lelaki tua itu terus bertanya: kenapa pohon di hutan tidak boleh kami ambil? Apakah saya harus beralih dari rumah kayu ke rumah batu? Tapi uangnya dari mana?

Belum terjawab sengkarut pertanyaan itu, lelaki tua itu dibuat semakin pusing saat baru tiba di rumahnya. Selain karena papan kayu, telepon yang ia tinggal tadi terus berdering. Rahman, anak semata wayangnya, terus menelpon.

“Halo, kenapa bapak baru angkat telepon saya?”

“Saya dari Petta Desa nak”

“Jadi bagaimana Pak?”

“Kau tunda saja keinginanmu nak, rumah harus diperbaiki, uang untuk melamar juga tinggi, saya janji tahun depan saya akan penuhi kenginan ta nak,”

Rahman tidak terima. Lewat sambungan telepon, ia terus merajuk dan membujuk. Lelaki tua itu pun kelimpungan. Bukannya tidak ingin memenuhi keinginan anaknya, lelaki tua itu dihadapkan pada dua hal yang harus diatasi dengan uang: pernikahan anaknya dan perbaikan rumah. Dua hal ini saling terkait satu sama lain.

Apabila lelaki tua itu melaksanakan pesta pernikahan anaknya, sedang rumah belum diperbaiki, tentu keluarga dan tamu yang datang tidak akan nyaman berada di rumah yang sudah hampir rubuh itu. Dan jika perbaikan rumah lebih diutamakan, dengan membeli tiang, papan dan balok kayu, maka uang untuk melamar tidaklah cukup.

Lelaki tua itu pun putar otak, memilih salah satu diantara dua hal itu, atau mencari pilihan ketiga dan pilihan-pilihan lainnya.

***

Rahman terlihat bahagia. Walau badan Rahman masih terasa lelah setelah semalaman menyapa tamu yang hadir di pesta pernikahannya, namun senyumnya terus merekah bersama wajahnya yang berseri dengan potongan rambut yang dicukur rapi. Di teras rumah, ia bercengkrama dengan sanak saudaranya setelah lama tak bertemu selepas dari perantauan.

Saat tenda baru saja dibongkar dan halaman rumahnya mulai dibersihkan dari sampah para tamu undangan, sebuah mobil bak terbuka berhenti di depan rumah. Mobil itu berwarna hijau tua, di samping kiri kanannya bertuliskan polisi kehutanan. Dari dalam mobil, Petta Desa dan dua orang berseragam turun dan bergegas menghampiri Rahman.

Petta Desa menyapa dan langsung menanyakan keberadaan bapak Rahman. Sedang dua orang berseragam itu mengamati kondisi rumah. Mulai dari lantai rumah hingga tiang-tiang penyangga. Merespon pertanyaan Petta Desa, Rahman meminta sepupunya yang paling muda untuk memanggil bapaknya di dalam kamar.

Lelaki tua itu keluar dari kamar, berjalan perlahan menuju teras rumah. Tak ada lagi derit lantai saat ia menapak, yang ada hanya degup jantung yang semakin kencang, saat lelaki tua itu melihat Petta Desa dan dua orang berseragam berdiri dihadapannya lalu salah satu dari mereka menyerahkan sebuah surat yang bertuliskan: Surat Panggilan Pemeriksaan!

Pertama kali dimuat di Koran Fajar edisi Minggu, 30/12/2018

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa