Resensi Novel: Tempat Paling Sunyi - Arafat Nur
Ambisi Berujung Sunyi
dokumentasi pribadi |
Setiap individu pasti punya ambisi. Sebuah tujuan yang hendak dicapai dalam
hidup. Entah itu harta, tahta dan ragam macam lainnya. Ambisi itu terus
dikejar, walau waktu untuk mendapatkannya tak kunjung tiba, tetapi semangat
untuk meriahnya tetap menyala dalam dada.
Ambisi, itulah yang membuat hidup jadi terarah. Namun seringkali, tantangan
datang silih berganti, untuk menguji seberapa serius kita dalam mencapai ambisi
tersebut.
Dua premis –ambisi dan ragam macam tantangannya- itu yang jadi narasi utama di bab awal dari novel Tempat Paling Sunyi, karangan Arafat Nur. Novel yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 2015, ini bercerita mengenai seorang juru ketik yang berambisi membuat sebuah novel. Tokoh itu bernama Mustafa.
Mustafa, dikisahkan oleh Arafat Nur, sebagai orang yang percaya bahwa novel bisa merubah dunia. Namun nasibnya memang malang, Mustafa hidup di lingkungan yang orang-orangnya tidak menyukai buku dan menganggapnya tidak berguna sama sekali.
Buku bukanlah benda berharga bagi kaum bebal
Kehidupan Mustafa seolah-olah sama dengan judul Bab 16 berikut ini;
Hanyalah sebutir debu di tengah-tengah dunia tuhanSaya mengira kesunyian yang dimaksud Arafat Nur dari judul novel ini adalah kesendirian di tengah keramaian, sebab tak ada satu pun orang yang sejiwa dengan Mustafa di lingkungannya.
Hal itu membuat Mustafa menderita, dan semakin parah ketika tokoh bernama
Salma masuk ke dalam hidupnya. Dan cerita dari novel ini semakin berkelindan
saat Salma dibantu Syarifah terus mengusik ambisi Mustafa.
Hampir seluruh halaman buku ini, yang tebalnya 326 halaman, berkisah
mengenai konflik Mustafa dengan Salma. Walaupun perang di Aceh sesekali
disinggung, namun itu tidak membuat rasa bosan saya membaca konflik Mustafa
dengan Salma hilang.
Baru setelah tokoh bernama Riana hadir dan ketika sampai di bab 22, saya
kembali antusias dengan novel ini. Ternyata, ada sebuah sudut pandang pencerita
yang banyak dijejalkan Arafat Nur di bab-bab sebelumnya, dan hal tersebut jadi
lebih terang ketika saya membaca bab 22. Cukup menarik.
Namun, kejutan dari Arafat Nur tidak sampai di situ saja, di akhir novel,
sebuah twist lain hadir dan membuat
akhir novel ini jadi bad ending,
tidak seperti yang saya bayangkan.
Secara keseluruhan, novel ini cukup bagus, salah satu yang menarik adalah
penggunaan kata yang jarang dipakai, misalnya, kata jiran untuk menyebut
tetangga. Sampul novel ini juga lumayan keren. Namun, seperti yang sudah saya
sampaikan di atas, bahwa repetisi konflik yang terus menurus membuat saya terus
menguap–bosan- saat membaca novel ini. Namun penilaian orang tentu berbeda-beda, kalian bisa cari hal menarik dari buku ini sendiri. Selamat membaca!
Comments
Post a Comment