Resensi Novel Sekuntum Peluru
Realitas Mahasiswa Dalam Sekuntum Peluru
Foto: dokumentasi pribadi |
Nyoman Kutha Ratna, penulis buku ‘Paradigma Sosialogi Sastra’ menyampaikan
bahwa “Sebagai sebuah dunia miniatur, karya sastra berfungsi untuk
menginvetarisasikan sejumlah kejadian-kejadian, yaitu kejadian-kejadian yang
telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi,”
Lebih lanjut, Nyoman Kutha Ratna mengatakan, pada dasarnya, seluruh
kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk ke dalam genre yang
paling absurd sekalipun merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mengkin
terjadi dalam kehidupan sehari-sehari.
Cara-cara bertindak, berpikir dan merasakan, kata Nyoman Kutha Ratna,
termasuk dalam bagian fakta sosial, yang berfungsi untuk mengendalikan
individu, yang tidak dapat disamakan dengan gejala biologis dan psikologis.
Fakta sosial bersumber di dalam masyarakat, baik masyarakat secara keseluruhan
maupun kelompok-kelompok khusus yang termasuk di dalamnya. Seluruhnya dapat
menjadi sumber inspirasi dalam membuat karya fiksi.
Penyampaian Nyoman Kutha Ratna tadi, mengingatkan saya pada sebuah novel
yang pernah saya baca. ‘Sekuntum Peluru’ judul novel itu. Karya fiksi pertama
dari Alto Makmuralto, pengelola lembaga kebudayaan di Makassar bernama Liblitera
Institute. Novelnya berkisah tentang dinamika kehidupan empat mahasiswa dan
seorang pelajar di tanah rantau.
Borra, Coing, Cakra, Rambo dan Kamson ialah nama tokoh rekaan dalam novel
Alto. Latar belakang, minat dan karakter dari ke lima tokoh itu berkelindan
membentuk dan mengantar pembaca menuju konflik-konflik kehidupan masing-masing
tokoh.
Selain sama berstatus pelajar di kota bernama Mecazzar, memang, ke lima
tokoh dalam novel setebal 214 halaman ini, punya latar belakang, minat dan
karakter yang berbeda-beda.
Borra digambarkan sebagai pemuda yang anti kemapanan. Hidup di keluarga
kaya yang individualis, memaksa Borra untuk mempertaruhkan keluarganya demi
idealismenya.
“Anak muda itu mulai yakin kalau apa yang selama ini dirasakannya hanyalah
sekedar kemewahan palsu, kebahagiaan semu, kemuliaan imitasi. Bahwa bukan
materi letaknya kemuliaan itu. Ia mulai berpikir untuk pergi meninggalkan
rumah, meninggalkan segala kemewahan yang berkilauan di sana.” (halaman 59).
Sedangkan Coing, digambarkan sebagai mahasiswa yang gila bola. Selain itu,
Coing juga berstatus sebagai preman kampus. Berambut gondrong dan punya ilmu
kebal jadi modalnya untuk dapat status itu.
“Bapaknya yang sudah pusing melihat ulahnya itu membujuknya masuk kuliah. Tapi
Coing berat hati sebab sangat yakin tak bakal sanggup belajar yang susah-susah.
Namun ia segera berubah pikiran, ketika dari layar televisi ia menyaksikan
tawuran mahasiswa. Peristiwa itu tiba-tiba membuatnya bersemangat masuk kuliah.
Ia ingin menaikkan statusnya, dari ‘preman kampung’ menjadi ‘preman kampus’.”
(halamn 107).
Tiap karakter yang digambarkan Alto sangat menarik menurutku. Selain mudah
untuk dibayangkan, latar belakang dan minat tokohnya juga unik. Hal itu
terpikirkan olehku ketika menjumpai karakter dari Rambo dan Kamson.
Dalam bab ‘otot kawat tulang besi’, Alto mulai memperkuat karakter Rambo
dan juga sedikit menjabarkan karakter Kamson. Rambo, sesuai namanya, ingin
menjadi seorang tentara. Namun cita-cita itu tak dapat ia gapai.
“Hatinya yang sempat kecewa segera terobati ketika di kampus ia berjumpa
organisasi semi militer: Resimen Mahasiswa (Menwa).... Di kampus, ia selalu
petantang-petenteng dengan seragam Menwa, lengkap dengan baret, sangkur, dan
sepatu lars.” (halaman 125).
Sedangkan tokoh yang terakhir, ialah Cakra. Seorang pemuda biasa dari
kampung yang berjuang untuk bisa kuliah. “Pria ini adalah penghuni rumah kost
itu yang paling melarat... tak ada jatah kiriman uang bulanan dari kampung
sebagaimana teman-temannya yang lain.” (halaman 21).
Dari latar belakang ke lima tokoh itu, Alto mulai menuliskan
realitas-realitas kehidupan kampus dan kehidupan anak rantau. Dari pembacaan
saya, Alto berusaha menampilkan seluruh elemen yang ada di kampus. Mulai dari
aktivitas lembaga dakwah kampus, demonstran hingga paling unik dari resimen
mahasiswa. Walau yang disebut kedua tidak ditampilkan dalam banyak adegan.
Begitu juga dengan kehidupan anak rantau yang tinggal dalam satu pondokan. Penggambaran
kegiatan-kegiatan sekolompok mahasiswa rantau begitu apik Alto tuliskan. Menukil
istilah dari Nyoman Kutha Ratna tadi: cara bertindak, berpikir dan merasakan
dari anak rantau tergambar jelas di novel ini. Seperti ide-ide kreatif mengatasi
lapar saat uang bulanan sudah habis serta bekal ‘kesaktian’ yang dimiliki dari
kampung.
Yang terakhir disebutkan memang sangat jamak ditemui, terutama pada anak rantau yang berasal dari daerah Sulawesi
Selatan. Kebiasaan turun temurun orang Bugis Makassar saat merantau memang
sudah lama dilakukan, selain mengharuskan punya bekal fisik dan mental, bekal
lain biasanya turut dipersipakan. Makanya, tidak sedikit anak rantau dari
Sulawesi Selatan yang punya bekal ‘kesaktian’ dari kampungnya. Hal inilah yang Alto
coba gambarkan dalam novelnya.
Selain itu, latar tempat kost dalam novel ini begitu akrab bagi saya. Saya yang
menjalani masa kecil di sekitar lingkungan kampus di Makassar, sangat mudah
membayangkan deskripsi yang dibuat Alto. Aktivtas seperti menyetrum ikan di
rawa pinggir pondokan sangat sering saya saksikan ketika masih berseragam SD.
Namun, terlepas dari penggambaran yang cukup berhasil, terdapat pula
adegan-adegan yang agak klise dan terlalu cepat diusaikan, seperti adegan
Kamson di istana negara dan jatuh cintanya Alma. Tetapi humor, kritik dan
puitisnya Alto dapat menutupi itu semua. Karya Alto ini cukup menghibur dan
berhasil menangkap realitas mahasiswa, lalu membingkainya dalam Sekuntum Peluru.
Ditulis di Makassar 29 Oktober 2018
Comments
Post a Comment