Rumah Pohon

Foto: dokumentasi pribadi


Bibirnya ditekuk. Kepalanya teleng ke kanan, sambil ditopang tangannya yang disandarkan ke pintu mobil. Matanya yang sendu itu tak berhenti melihat ke luar jendela mobil. Menatap kendaraan yang disalip dan mendahului. Menatap rumah-rumah dan deretan toko juga papan reklame yang seolah bergerak meninggalkan mobil. Ia, yang punya tatapan kosong ke luar jendala, sudah begitu sedari tadi. Sejak berangkat satu jam lalu, posisinya sama sekali tak berubah.

Orang tuanya yang duduk di kursi depan coba mengajaknya berbincang. Tentang peristiwa di sekolah yang membuat hari-harinya terasa kelam. Tentang tiga kawannya yang membuat ia begitu kecewa, hanya karena beda pendapat dan tak ada yang mendukungnya. Hingga senyum cerianya hilang dari wajahnya. Dan berganti jadi bulan sabit yang dikelilingi awan mendung. Murung.

“Nak, kau tahu, mengutarakan rasa kecewa dan gelisah itu bisa membuat kita jadi lebih plong, lebih lega. Memendam hal seperti itu, apalagi dalam waktu lama, akan tidak baik, Nak.”

Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya posisinya yang sedikit berubah. Kini, kepalanya yang bersandar di kaca jendela. Tapi matanya masih melihat ke jendala mobil. Walau sesekali ia menunduk. Seolah ada hal yang terus ia pikirkan

“Baiklah, kalau kau tak mau bercerita, kita tak akan pulang ke rumah sekarang. Ada orang yang harus kau temui,”

***

Ia terbangun dari tidurnya. Badannya terasa pegal. Tangannya kram, mungkin karena ditindih oleh kepalanya sendiri. Beberapa kali matanya ia seka, coba menghilangkan rasa kantuknya. Tidak lama, kesadarannya pulih. Ia tahu, kini, mobilnya sudah berhenti. Sebab tak ada lagi rumah-rumah dan deretan toko yang bergerak.

Di kursi depan, ia juga tak melihat orang tuanya. Segera, ia merogoh saku, mencari gawai untuk menghubungi bapak dan ibunya. Tapi, ia tak menemukan apa yang dicarinya. Tentu saja ia panik. Terbangun di tempat yang tak dikenal sudah pasti membuat diri tak nyaman.

Dengan cepat ia keluar dari mobil. Melihat-lihat tempat sekitar. Jalanan begitu sepi. Dan tak ada pemukiman yang tampak di dekatnya. Mobilnya terparkir di tepi hamparan sawah. Di seberang jalan, pepohonan rimbun begitu lebat terlihat. Samar-samar, ia melihat seseorang berjalan di sela-sela pohon-pohon itu. Ia tahu, orang itu berjalan ke arahnya.

“Kau Ian, kan?”

Ia mengangguk mendengar pertanyaan itu. Namun, ia tak kenal pada orang yang mengenalinya. Ia sangat yakin, bahwa ia belum pernah ketemu dengan orang itu. Rambut orang itu sudah putih semua. Kulitnya juga, sudah keriput semua. Hanya giginya yang masih tampak sempurna; utuh dan tak kurang satu pun.

“Alangkah senangnya aku bertemu dengan engkau Ian. Aku Patris, pamanmu. Mari, aku ajak kau ke tempatku,”

Ia tak yakin betul pada orang itu. Tapi, ia enggan menolak. Sebab sendiri di tempat sepi membuat diri terasa tak aman.

***

Dua orang beda usia itu kini tengah berjalan ke arah barat. Menuju senja yang sebentar lagi tiba. Angin sore dan capung-capung menemani perjalanan santai mereka.

“Kau tahu, mengapa aku senang bertemu denganmu?”

Ia hanya menggeleng. Diam.

“Sebab aku jadi punya teman bicara. Juga karena kau mengingatkan aku pada teman-temanku saat muda dulu. Ketika usiaku masih seperti kau, aku punya banyak teman. Dan kami sering melakukan kegiatan seru,”

Hening menguap di antara mereka. Ia hanya diam, mendengarkan.

“Namun, saat kami bertambah tua, semua tak lagi sama. Kami berbeda pendapat dan kami saling meninggalkan. Kini, kau bisa lihat, aku hidup menyendiri,”

Kata-kata dari orang tua itu begitu ganjil, pikirnya. Mengapa orang tua itu sangat terbuka pada orang yang baru dijumpainya? Atau, selama ini orang itu memang betul hidup sendiri? Dan benar-benar butuh teman bicara? Sungguh malang kehidupan yang tak punya teman, sumpah, saya tak ingin seperti orang ini, ujarnya dalam hati.

Orang tua itu masih saja bercerita. Dan baru berhenti ketika mereka tiba di bawah pohon-pohon rimbun. Setelah tiga kali belok kiri dan melalui tanah setapak. Di bawah pohon itu, ia melihat mobilnya. Bapak dan ibunya kembali tampak, setelah menghilang entah ke mana.

“Bapak dan ibu dari mana saja? Saya sangat panik, ditinggal sendiri.”

Ibunya tersenyum. Dan bapaknya tertawa kecil sambil menunjuk ke atas pohon. Di atas pohon, ia melihat papan-papan yang berbentuk rumah seukuran pos satpam. Ia kaget, sekaligus terkesima.

“Hanya bapakmu yang sering datang menemuiku, Ian. Orang lain yang tidak mengenalku menganggap aku sebagai orang gila. Ian, aku hanya berpesan kepadamu; jangan pernah kau tinggalkan teman-temanmu, walau kalian bertengkar! Dan jangan pernah kau berpikir untuk hidup sendiri, seperti yang aku lakukan; hidup di rumah pohon dan tak punya teman bicara!”

Dimuat pertama kali di Banjarmasin Post edisi Minggu 9/6/2019

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa