Pedagang di Trotoar Pinggir Jalan

Foto: dokumentasi pribadi

Plak. Sebuah kartu domino dibanting di atas meja. Bersamaan dengan itu, seseorang tertawa puas. Tiga orang lain yang ada di dekatnya tampak mengeluh. Di tangan ketiga orang yang mengeluh itu, masih memegang kartu domino. Salah seorang diantaranya tampak ditertawakan. Pasalnya, kartu yang ia pegang adalah double enam, nominal paling besar dalam permainan domino.

“Hahaha, kenapa kau simpan terus itu rel kereta-kartu double enam-.”

“Gara-gara kalian halangi, jadi saya simpan ki, hahaha”

Keempat orang itu memang sudah sedari tadi asyik main kartu. Selepas magrib, mereka sudah berkumpul. Yang tertawa puas bernama Ruddin. Yang ditertawakan ialah Kasman. Sedang sisanya ialah Ralla dan Nompo. Mereka berempat adalah para pedagang di atas trotoar di pinggir jalan utama kota.

Ruddin adalah yang tertua dari mereka. Setahun lagi, usianya genap enam puluh tahun. Dari mereka berempat, Ruddin pula yang pertama berjualan di atas trotoar di pinggir jalan utama kota. Sebelumnya, ketika usianya baru menginjak dua puluh tahun dan masih membujang, ia pernah bekerja sebagai tukang becak.

Dahulu, trotoar pinggir jalan utama kota memang ramai oleh tukang becak. Sebab jalan utama kota sering disinggahi oleh angkutan umum untuk menurunkan penumpang. yang kebanyakan adalah mahasiswa dari kampus guru dan kampus agama.

Saat becak mulai ditinggalkan, Ruddin pusing setengah mati. Ia tidak sanggup membeli motor untuk dijadikan bentor. Becak yang selalu dikayuhnya juga hanya pinjaman seorang juragan. Maka berbekal uang bagi hasil yang ia simpan, ia memutuskan untuk berjualan rokok di tempat ia sering mangkal sebagai tukang becak.

Kini, sudah hampir tiga puluh tahun ia hidup dengan berjualan di atas trotoar. Banyak perkembangan zaman ia saksikan dari trotoar pinggir jalan itu; becak berganti bentor, angkutan umum semakin kurang, kendaraan pribadi semakin banyak, gedung telekomunikasi semakin tinggi, begitu juga dengan kampus guru dan kampus agama kian bertambah megah. Tapi, ada satu hal yang tidak dilupakan oleh Ruddin, yaitu; unjuk rasa mahasiswa.

Ya, di atas trotoar pinggir jalan utama itu, Ruddin banyak menyaksikan unjuk rasa mahasiswa dari kampus agama dan kampus guru. Tidak jarang, ia harus menutup warungnya saat batu mulai menghujani tameng-tameng polisi. Tapi, setelah hujan batu reda, ia membuka warungnya kembali dan dagangannya jadi laku. Baik mahasiswa, polisi atau hanya warga biasa yang lelah selepas unjuk rasa berakhir akan datang ke warungnya; membeli sebotol air ataupun sebungkus rokok.

Begitulah pengalaman Ruddin, yang boleh dikata telah banyak menyaksikan ragam kejadian dari trotoar pinggir jalan. Sedangkan Kasman, Ralla dan Nompo baru belakangan membuat warungnya. Kasman sama seperti Ruddin menjajakan minuman dan rokok, tapi lambat laun, ia membuka jasa tambal ban dan service motor. Lain lagi dengan dua nama terkahir, sejak mula Ralla dan Nompo sudah berjualan es kalapa muda dan es buah.
***
Saat ini, mereka telah berhenti bermain. Kartu domino sudah disusun rapi di dalam kotaknya. Yang ada hanya kepul asap rokok yang tampak di sekitar mereka. Suasana itu akan semakin hangat setelah istri Ruddin meletakkan empat gelas kopi di atas meja.

“Jadi kalian akan pindah ke mana nanti?” tanya Kasman sambil mengepulkan asap rokok.

“Sepertinya saya balik ke kampung,” ujar Nompo.

“Kalau saya sepertinya pindah ke tempat yang disiapkan saja, tapi..” jawab Ralla.

“Hah, kau mau ambil tempat yang ditawarkan pemerintah? Sudah, tak usah, di sana pasti sepi dan tak ada pembeli.” Kasman memotong perkataan Ralla dengan cepat.

Mendengar ucapan Kasman, Ralla menyesap kopinya, lalu bersuara, “Memang hal itu membuat saya agak ragu, tapi mau bagaimana lagi? tak ada pilihan lain. kau sendiri hendak pindah ke mana Kasman?”

“Pilihan yang saya pikirkan ada dua. Cari pinjaman dan membuka bengkel, atau saya jual itu kompressor dan jadi montir. Tapi entahlah, saya masih bingung.”

“Eh, kalau Pak Ruddin hendak ke mana nanti?”

Ruddin diam sejenak. Sedari tadi ia memang hanya mendengarkan. Tapi itu bukan berarti ia tak tertarik dengan pembahasaan ini. Bukan. Sejak berita itu sampai ke telinganya satu bulan lalu, ia tidak berhenti memikirkan ke mana ia akan pindah. Maka sebelum angkat suara, dua kali ia sesap kopi hitamnya dan menghela nafas dalam-dalam.

“Saya belum tahu. Sepertinya saya akan bertahan di sini.”
***
Matahari sudah naik sepenggalah. Terang sudah tampak dan gelap kembali bersembunyi. Bersamaan dengan itu, perlahan, jalan mulai ramai. Pekikan suara knalpot kadang sahut menyahut dengan bunyi klakson. Dan, tentu saja, semua itu memekakkan telinga.

Sarungnya ia tarik hingga menutupi kepala. Mencoba menghalangi sinar pagi yang sudah terang. Juga ingin meredam suara bising dari pengendara yang terburu-buru. Dan memang, ia kembali terlelap. Tapi tidak lama, hawa matahari semakin lama makin panas.

Ia belum sepenuhnya sadar. Berkali-kali matanya ia seka. Coba menghilangkan rasa kantuknya. Lalu, ia beranjak, hendak mencari air putih. Belum habis ia tenggak segelas air, ia dikejutkan dengan suara gaduh dari istrinya di luar.

“Pak, bangun. Bangun cepat. Ambil semua barang. Ambil cepat. Hancur ki nanti.”

Ruddin segera keluar. Dengan buru-buru ia kembali ke dalam warung, hendak mengambil kantongan besar, lalu cepat mengisinya dengan barang dagangannya. Di luar sana, telah ramai petugas berseragam coklat. Juga sebuah mobil yang di atasnya sudah ada bebarapa gerobak. Sekilas ia tahu, gerobak itu milik seorang padagang di jalan seberang. Dan ia tentu sudah tahu, hal ini akan terjadi. Ia meninggalkan warungnya dan pandangannya diedarkan. Semua sudah ‘bersih’ dan di ujung jalan sana, pandangannya tertuju pada sebuah spanduk bertuliskan: Mohon Doa Dan Restu Untuk Pembangunan Jalan Tol Kota.
Diterbitkan pertama kali di Koran Fajar Makassar 24/2/2019

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa