Kau Merasa Seperti Sisifus

sumber gambar: https://publicdomainvectors.org

Di kamar kost yang berantakan, kau merebahkan diri. Irama musik berdentum keras dari komputer jinjing di atas meja. Rupanya kau tengah mendengar lagu dari kelompok musik favoritmu, Nirvana. Lirik lagu berjudul ‘smells like teen spirit’ masuk ke telingamu dan berputar terus hingga ke otakmu.
Sekali-kali kau ikut bernyanyi. Mengeraskan suara pada bagian yang cukup mudah untuk diucapkan;

Its fun to lose and to pretend
...
Hello, hello, hello, how low
...
I feel stupid and contagious

Sisanya kau tampak merenung dan matamu menatap langit-langit kamar kos yang ukurannya hampir sama dengan pos satpam di pintu masuk 1 kampusmu.

Entah apa yang kau pikirkan saat itu. Nampaknya kau sudah lama tidak mengurus dirimu. Bajumu tak pernah kau ganti. Itu-itu saja dan masih sama sejak terakhir kita berjumpa di warung kopi satu bulan yang lalu. Ah, tentu saja kau tidak ganti baju, pakaianmu yang lain sepertinya memang tidak ada yang bersih. Di belakang pintu kamar kos ini bajumu menumpuk. Ada yang tergantung dan ada pula yang tergeletak begitu saja di lantai, seperti kain lap yang biasa dipakai membersihkan kaki.
Sebentar kemudian kau raih satu buku. Menatap halaman demi halaman, sampai kau menguap berkali-kali, kau pun beranjak dan berpindah ke depan komputer jinjing. Jemarimu mulai memencet tombol-tombol yang berbaris tak berturan itu. Dan, kau berhenti, menunduk sejenak lalu kau membuka suara;

Tahukah kau, apa arti semua ini?”

Aku tidak mengerti dengan pertanyaanmu itu. ‘Arti semua ini’ yang kau maksud itu apa? Sedari tadi aku sudah bingung dengan tingkah lakumu, dan apa yang kau pikirkan sekarang pun aku sama sekali tak tahu.

Ketenaran, kepalsuan, peraturan, norma dan nilai-nilai, harta, gelar, jabatan dan semua yang terjadi di luar sana, tahukah kau apa arti semua ini?”

Gigi kuning yang tak pernah kau sikat itu begitu nampak saat kau berbicara di keremangan cahaya dari komputer jinjingmu. Tanganmu ikut bergerak searah dengan kata-kata yang begitu semangat kau sampaikan. Tapi, aku masih belum mengerti, apa yang sedang kau pikrikan?

Kau memang aku kenal sebagai seorang yang begitu semangat belajar. Buku-buku bacaanmu berat-berat. Bukan hanya tebal halamannya yang berat, pembahasan dari bacaanmu juga tidaklah ringan dan tidak mudah dipahami. Tapi kau pembaca yang tekun. Kau bisa berhari-hari menjadi seorang yang asosial sepulang dari toko buku. Kau menekuni pemikiran tokoh-tokoh dunia, diantaranya yang sering kudengar ketika kau lagi banyak bicara ialah Nietszche dan Camus.

Aku ingat percakapan terakhir kita, waktu kau mengajakku ke warung kopi. Di sana, kau begitu semangat berbicara tentang Sisifus, anak Raja Aeolus dari Thessaly. Katamu, kisah itu hanya mitos dari negeri Yunani. Kau berbicara seolah kehidupan sekarang sama dengan kisah Sisifus.

Sisifus, kawan, dikendalikan oleh para dewa untuk melakukan pekerjaan sia-sia, mendorong batu besar menuju puncak bukit, lalu ia melihatnya menggelinding kembali ke dasar. Kemudian Sisifus melakukan hal yang sama menuju puncak berikutnya. Sebuah rutinitas yang melelahkan bukan?”

Ya, kau memang benar, itu adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Tapi itu hanya mitos, mana ada Sisifus di zaman modern seperti sekarang, kau ini sungguh aneh.”

Seingatku, pernyataan terakhir yang keluar dari mulutku itu tidak kau respon balik. Rona wajahmu seakan berubah saat itu. Setelahnya, kau nampak enggan melanjutkan percakapan, hingga kau pamit dan kita tak pernah saling kontak lagi.

Kini, aku mengunjungimu, karena penasaran setelah satu bulan tidak saling bertukar kabar. Sengaja aku meninggalkan pekerjaanku yang cukup melelahkan. Laporan, proposal, data dan deadline memang sangat menjemukan. Belum lagi dengan tekanan dari atasan yang seenaknya datang ke kantor, kapan pun dia mau. Sedangkan aku dan karyawan lainnya harus datang tiap Senin sampai Jumat, mulai jam 7.30 pagi hingga pukul 17.00 sore. Itu pun kalau pekerjaan di kantor tidak menumpuk. Apabila menumpuk dan deadline sudah semakin dekat, terpaksa pekerjaan yang menumpuk itu dikerjakan secara ekstra alias lembur.

Walau begitu aku cukup menikmati pekerjaanku. Aku tidak bisa membayangkan, kegiatan apa yang akan aku lakukan jika tidak bekerja. Sedangkan, kau yang memilih berhenti sebagai karyawan nampak semakin asyik dengan buku-buku di kamar kosmu ini.

Hei, Wahab, kenapa diam saja? Kau tidak mendengarku?”

Tentu saja aku mendengarmu, tapi aku tidak mengerti dengan pertanyaan yang kau ajukan kawan”

Ah, kau ini, yang saya maksud adalah; mengapa kita tidak bisa menentukan pilihan yang betul-betul dari diri kita sendiri? Selama ini, pilihan yang kita ambil, secara tidak langsung dipengaruhi oleh orang-orang yang ada di luar sana, di sekitar kita. Mulai ketenaran, peraturan, norma dan nilai-nilai, harta, gelar, jabatan yang dianggap baik oleh mereka semua. Itu berarti bahwa, kita, aku dan kau dan orang-orang yang lain, tidak ada di dunia ini kawan! Kita seperti Sisifus, terlahir dikutuk dan tidak punyak kehendak.”

Bukankah itu hal yang wajar? Kita semua memang saling mempengaruhi satu sama lain. Aku kira kau terlalu lama bertapa di sini Herman, sudahlah, jangan berpikir yang tidak-tidak kawan.”

Dan, kau terdiam, sama seperti percakapan di warung kopi sebulan yang lalu, kau tidak menanggapi balik apa yang aku katakan. Sepertinya memang benar perkiraanku, bahwa aku bukanlah kawan diskusi yang baik untukmu. Kau bungkam dan hanya lagu Nirvana yang terdengar begitu udara kecanggungan menguap diantara kita.

***

Kau tak bisa ku jumpai lagi. Kau juga tak bisa lagi mendengar lagu dari Nirvana. Kamar kosmu sepi, setelah beberapa hari yang lalu ramai karena bau tubuhmu yang sudah jadi bangkai. Ah, tentu saja aku sedih karena kepergianmu. Tapi mengingat perbincangan terakhir kita, aku jadi sedikit tenang, kini kau telah menentukan pilihanmu sendiri secara sadar. Sebuah pilihan yang jelas keluar dari norma dan nilai-nilai yang dianggap baik oleh orang sekitar.

Aku mencoba mengetahui jalan pikiranmu, dengan mempelajari pemikiran tokoh-tokoh yang kau suka dari buku-buku yang ada di kamar kosmu. Dan ku jumpai buku tentang Sisifus yang ditulis oleh Camus, nama yang sering kau sebut. Maka aku pun tahu, bahwa kau coba berontak dari keadaan yang mengekang kebebasanmu. Tapi aku kira kau keliru, Sisifus tidaklah semenderita yang kau kira, Camus malah membayangkan Sisifus bahagia menjalankan rutinitasnya yang tampak sia-sia.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa