Resensi Novel Kambing dan Hujan – Mahfud Ikhwan
Foto: dokumentasi pribadi |
Berbeda bukan berarti tidak bisa berdampingan. Berbeda juga tidak lantas
membuat kata bersama jadi mustahil terjadi. Karena dengan bersama, kita semua
jadi tahu bahwa hal-hal yang beda itu nyata adanya.
Kira-kira begitulah pesan yang saya tangkap selepas membaca novel Kambing
dan Hujan, anggitan Mahfud Ikhwan. Novel setebal 380 halaman ini tentu tidak
dapat dikatakan karya yang biasa saja. Cap sebagai pemenang sayembara novel
Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014 jadi jaminan bahwa Kambing dan Hujan bukan
karya yang sembarangan.
Kambing dan Hujan adalah sebuah roman. Roman yang menceritakan kisah yang
agak mirip dengan Romeo dan Juliet. Dimana dua individu dari dua kelompok
berbeda yang saling jatuh cinta. Keduanya pun mesti melewati berbagai halangan
untuk bisa bersama. Dan tentu saja halangan terbesar datang dari latar belakang
kelompok mereka. Tapi saya menyarankan agar kalian jangan membayangkan Kambing
dan Hujan bakal berakhir tragis seperti kisah Romeo dan Juliet. Jangan. Sebab
tidak akan ada racun yang ditenggak dalam novel ini.
Tentu saja latar tempat dan waktu dalam Kambing dan Hujan berbeda dengan
Romeo Juliet yang berlatar eropa. Kambing dan Hujan menampilkan relitas dan
lokalitas dari tanah jawa yang begitu kental. Mulai dari aktivitas kehidupan
sehari-hari, seperti suasana bus dan terminal, ramainya bulan puasa, ramainya
acara wisuda dan masih banyak lagi realitas yang digambarkan dengan sempurna.
Hingga yang paling banyak mengambil porsi adalah aktivitas keagamaan yang jadi
latar utama dari keseluruhan novel ini.
Dari pembacaan saya, aktivitas-aktivitas keagamaan dalam Kambing dan Hujan
sengaja ditampilkan untuk mengantar kita melihat perbedaan cara berindak dan
berpikir dari dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok pembaharu, tempat
Mif, sang tokoh utama laki-laki dibesarkan. Kelompok kedua adalah kelompok yang
berpegang teguh pada tradisi yang sudah ada, tempat Fauzia, sang tokoh utama
perempuan.
Di bab awal, Mif dan Fauzia begitu bingung dengan hubungan mereka. Hingga
saat, Mahfud membawa cerita ke alur mundur. Latar waktu kemudian berubah.
Begitu juga dengan fokus cerita yang berganti dari percintaan ke cerita
persahabatan.
Saya selalu suka cara bercerita Mahfud Ikhwan. Membaca karyanya ini membuat
saya seperti menyaksikan langsung tempat peristiwanya dan seolah mendengar
langsung potongan perbincangan dari Mif dan Fauzia, dari Moek dan Is, juga
cerita dari Cak Ali, Yatun, Kamituwo, Pakde War dan tokoh-tokoh lainnya.
Tengok saja potongan penggambaran tempat dari Mahfud Ikhwan yang ciamik
ini:
“Setelah bertahun-tahun, tempat itu hampir tidak berubah. Panas, pesing, amis, semrawut, morat-marit, tak terawat, tak beda dari sebelumnya. Warung bakso itu masih di sisi timur. Dan, masih saja ramai. Sungguh aneh. Biasanya orang berjualan mengikuti keramaian. Orang jual satai memilih jalan ramai. Orang jual minuman ambil stan dekat kerumunan. Penjual balon ada di tempat anak-anak berkumpul. Kedai tuak berdiri di sekitar tempat peristirahatan kendaraan. Namun, warung bakso itu menciptakan keramaiannya sendiri. Dan, hampir satu-satunya. Ia ciptakan penjual es di sampingnya. Di sampingnya lagi, seseorang membuka lapak sederhana untuk berjualan pulsa...” halaman 1.
Dan tidak lupa, saya ingin menampilkan potongan perbincangan yang menurut
saya begitu hidup, seperti ini:
“Kami akan mengusahakannya, Pak!” seorang anggota panitia memberanikan diri menyela.Pak Suyudi terbahak. “Kalian? Kami saja yang pada tahun 60an kewalahan, apa kebiasaan anak-anak sekarang?”“Jika generasi Paklik Suyudi dulu kewalahan, bukan berarti generasi sekarang juga demikian,” potong Mif.Pak Suyudi melotot. “Kau harus tahu Mif, salah seorang dari genarasi yang kau remehkan itu adalah bapakmu!“Saya justru sedang belajar dari generasi masa itu untuk tidak menganggap semua omongan orang tua harus diturutkan.”
Dari novel ini, saya belajar, tentang bagaimana menerima perbedaan dan
tidak memaksakan kehendak. Seperti ungkapan Mas Ali yang selalu diingat oleh
Moek: Menyajikan kopi kepada tamu itu baik, tapi tentu saja jangan
menyiramkannya ke muka.
Selamat membaca!
Comments
Post a Comment