Resensi Novela Omong Kosong yang Menyenangkan - Robby Julianda
Suara Perempuan di Omong Kosong yang Menyenangkan
Foto: dokumentasi pribadi |
Penyampaian suara kaum perempuan lewat medium karya sastra bukanlah hal
baru di Indonesia. Beberapa penulis perempuan sudah sering mengangkat pemikiran
mengenai kesetaraan gender dan hak-hak perempuan dalam setiap karyanya. Nh.
Dini, Ayu Utami, Dewi Lestari, Leila S Chudori dan Yetti A. KA adalah
segelintir nama penulis yang telah melakukan hal itu.
Sebelum nama-nama tersebut hadir, karya sastra di Indonesia memang lebih
menampilkan sosok perempuan sebagai tokoh inferior dan termarginalkan. Seperti
roman ‘Sitti Nurbaya’ (1922) yang ditulis oleh Marah Roesli, yang menampilkan
kuatnya budaya patriarki di Indonesia, khususnya di masyarakat Minang.
Tapi, bukan berarti penulis laki-laki Indonesia tidak menampilkan suara
dari kaum perempuan. Sebuah novel berjudul ‘Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur’
(2003), yang ditulis oleh Muhidin M Dahlan juga menampilkan suara perlawanan perempuan
atas konsep cinta, pernikahan dan relasinya dengan laki-laki yang kental dengan
budaya patriarki. Novel setebal 261 halaman itu sempat menuai kontroversi di
awal kemunculannya.
Kini, setelah 16 tahun kemunculan novel Muhidin M Dahlan, saya kembali
menemukan penulis laki-laki yang menyelipkan suara perempuan dalam karyanya.
Robby Julianda, nama penulis itu. Lewat novela berjudul ‘Omong Kosong Yang
Menyenangkan’ (2019), Robby menampilkan satu tokoh perempuan yang terus
mempertanyakan pelebelan yang disematkan pada perempuan.
buku omong kosong yang menyenangkan |
Tokoh itu ialah Lani, seorang tokoh perempuan protagonis yang menolong
seorang laki-laki bernama Sal, sang tokoh utama. Lihatlah, dari segi penokohan
saja, novela ini sudah tidak sama dengan cerita yang biasa dijumpai. Sebab,
biasanya, dalam kebanyakan cerita, sang tokoh laki-laki yang jadi penolong bagi
sang tokoh perempuan. Dalam novela yang diterbitkan Buku Mojok ini, Robby
Julianda membalikkan kebiasaan itu.
Di sejumlah narasi dan dialog dalam novela setebal 95 halaman ini, Lani
memang banyak berceloteh dan melontarkan pertanyaan yang seolah menggugat
pandangan orang banyak terhadap perempuan yang punya keinginan berbeda. Simak
saja beberapa nukilan dari novela ini;
“’Menurutmu aneh tidak, kalau
perempuan bikin tato?’ kata Lani tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya”
(halaman 14)
“’Aku sangat mengagumi tato’ tambah Lani ‘tapi aku tak berani
bikin di bagian terbuka sebab orangtuaku pasti marah besar kalau sampai
melihatnya’” (halaman 16)
Pertanyaan dan pernyataan sikap takut yang disampaikan Lani kepada Sal
boleh dikata dapat mewakili perempuan. Sebab, mungkin saja, banyak perempuan di
luar sana, yang ragu melakukan hal-hal yang mereka sukai, karena terhalang oleh
keadaan sosial budaya yang jadi pembatas. Dan aspek sosial budaya yang paling
berpengaruh tentu saja keluarga, khususnya orang tua.
“Aku tidak suka caranya
memandangku setelah kejadian itu, seakan derajatku lebih rendah dari dia karena
aku bertato. Sebenarnya aku tidak mau ambil pusing. Itu urusannya. Lagi pula,
aku tak pernah memandang dia lebih rendah dariku meski ia suka menceritakan
sinetron yang ia tonton.” (halaman 18)
Keadaan sosial budaya di Indonesia memang amat mengatur kehidupan
perempuan. Sebab terdapat norma dan tata cara berperilaku, yang apabila tak
dilakukan, maka cap, stigma dan pelabelan dari masyarakat akan melekat dengan
kuat. Salah satunya adalah tentang pernikahan dan Robby dengan apik menuliskan
keresahan perempuan mengenai hal ini melalui tokoh rekaannya, Lani.
“Aku hanya tak ingin
menghabiskan umurku sampai tua menjadi perempuan yang tidak aku inginkan sebab
kalimat menerima-apa-adanya itu hanya tahi kucing. Kau tahu, orang tidak akan
bisa menerima orang lain apa adanya. Dan menikah hanyalah semacam label
sehingga mereka bisa seenaknya menuntut ini itu.” (halaman 79-80).
Kira-kira begitulah sedikit suara perempuan dari novela karya Robby
Julianda. Masih banyak fragmen menarik dari pertemuan-pertemuan singkat Sal
dengan tokoh lain; Laurell, dua pengemudi mobil dan Malano. Dialog dan narasi antara Sal dengan
tokoh-tokoh itu begitu apik ditulis oleh Robby, yang seringkali menukil tokoh
atau kisah dari film atau buku dan juga musik.
Diterbitkan pertama kali di rubrik apresiasi koran Fajar edisi 5/5/2019
Comments
Post a Comment