Salut akan Petani Rumput Laut


Ilustrasi: http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2015/03/ru1-Memasang-bibit-rumput-laut-februari-2010.jpg
Bagaimanakah kehidupan petani rumput laut? Pertanyaan itu mengendap di dalam benak. Tatkala perjalanan saya sebentar lagi sampai. Di bawah terik matahari yang menyengat, laju sepeda motor ini semakin cepat. Semilir angin mengibas menghempas di antara hamparan sawah yang luas. Satu dua rumah warga pun terlewatkan, hingga akhirnya saya sampai di tempat tujuan, lingkungan Cilalang Kabupaten Takalar.

Untuk melipat jarak sepanjang tiga puluh kilometer, saya mesti memakan waktu enam puluh menit lebih sedikit. Saya tak sendiri, bersama dengan Ayu Lestari, seorang karib yang berboncengan dengan kak Ana Amriana, seorang mentor sekaligus senior. Kami bertiga ikut dalam sebuah program pendampingan petani rumput laut oleh World Wildlife Fund (WWF) Indonesia. Daerah binaan WWF di Sulawesi Selatan terdapat di beberapa daerah seperti Kabupaten Pinrang, Kabupaten Bone dan di lingkungan Cilalang Kabupaten Takalar.

Di lingkungan Cilalang perumahan warga cukup padat. Hal itu terlihat setalah saya sampai di rumah kepala lingkungan, Arifuddin Daeng Mangung. Rumah beliau terletak persis di belakang sebuah sekolah dasar dan tidak jauh dari penjara lama Takalar. Di sebelah barat, perumahan cukup padat. Namun lain halnya dengan arah yang berlawanan, timur.

Di sebelah timur, tambak terhampar luas. Jarak antar rumah tidaklah rapat. Petak demi petak tambak menjadi pemisah. Hanya ada beberapa rumah yang berjarak lima langkah dari tetangga terdekatnnya.
Setelah rehat sejenak sambil melihat-lihat, kak Ana mengajak kami berangkat, berkeliling. Pengambilan data dari tambak ke tambak pun kami lakukan. Mulai dari suhu, ph, hingga salinitas (kadar garam) air tambak kami catat. Tak lupa, kami juga melihat kondisi rumput laut jenis Glacililaria itu.


Rumput laut jenis ini merupakan berkah tersendiri bagi petani. Sebab rejeki mereka mengalir dari komoditi ini. Tak banyak modal yang mesti keluar dari kantong petani. Hanya dengan sedikit peluh keringat yang diperas selama empat puluh hari, rumput laut pun siap dipanen. “Ditebar ji terus tunggu empat puluh hari, panen mi” ujar Daeng Caco, sang ketua kelompok tani.

Di salah satu tambak yang kami singgahi, saya melihat seorang petani membenamkan kakinya dalam lumpur. Sebuah kotak kayu beralaskan Styrofoam yang berkuran sebesar jendela rumah, ia tarik sambil menyodorkan tangan lainnya ke dasar tambak. Sebuah jaring berisi rumput laut pun muncul ke permukaan air. Setelah itu, ia menaruh rumput laut itu ke dalam kotak tadi.

Pada pematang tambak, jaring tempat menjemur rumput laut terhampar. Memang, rumput laut tidaklah dijual dalam keadaan basah. Tetapi dalam keadaan kering. Daeng Caco mengungkapkan harga rumput laut saat ini menurun dari harga sebelumnya. “Setelah panen, dijemur. Harganya sekarang 4.000 satu kilo. Dulu 8.000” ujarnya.

Menurut selah seorang Seafood Saver WWF ID, Idham Malik, penurunan harga disebabkan karena kualitas rumput laut yang kurang bagus. Kandungan gel yang kurang padat membuat berat rumput laut ikut turun. Factor lingkungan tambak menjadi salah satu sebabnya. Pemeliharaan tambak oleh petani seperti pengeringan, pengapuran dan pengontrolan tinggi air jarang dilakukan sehingga berdampak pada hasil panen rumput laut.

Selain itu, permainan harga pasar juga dicurigai terjadi. Turunnya harga ini cukup mengherankan. Sebab permintaan pasokan rumput laut oleh para pelaku usaha industry cukup tinggi, hal itu tentu bakal melambungkan harga. Tetapi kenyataan berkata lain. Tingginya permintaan tidak sebanding dengan penawaran harga untuk hasil jerih payah petani.

Di Cilalang, petani menjual rumput laut mereka pada sebuah perusahaan, Celebes Seaweed Group namanya. Perusahaan ini menjadi mitra program pendampingan yang saya ikuti. Terciptanya kualitas rumput laut yang bagus menjadi tujuan bersama. Sesuai dengan nama kelompok tani ini, Assamturu, berarti kesepakatan bersama menuju kesejahteraan.

Sebanyak dua puluhan anggota tergabung dalam kelompok Assamaturu. Saling berbagi informasi terkait masalah pembudidayaan rumput laut menjadi agenda rutin. Dengan pertemuan yang terus berlanjut dan berkala, diharapkan dapat meningkatkan kapasistas pengetahuan para anggota kelompok tani ini. Untuk mengupayakan itu, pelibatan semua pihak baik pemerintah, mahasiswa dan akademisi lainya juga perlu.

Kuatnya rasa persaudaraan dan tolong menolong menjadi modal besar untuk berkembang bersama. Hal itu sempat saya rasakan. Saat tengah berkeliling, di tengah perjalanan, rumah salah satu anggota kelompok, Daeng Joa, terlihat ramai. Kak Ana yang melintas di depan rumah itu pun berhenti. Di teras rumah para anggota kelompok asyik bercengkrama. Kak Ana berbincang sebentar dengan mereka lalu berkata kepada saya dan Ayu “Ada yang baru keluar dari rumah sakit” ujarnya.

Kami pun bergegas menaiki rumah panggung itu. Para istri anggota kelompok telah menyesaki ruang tamu. Kami ikut duduk bersila mengikuti mereka. Di dalam kamar, Daeng Joa tengah sakit, sedang di luar para anggota kelompok berdatangan menunjukkan rasa persaudaraan, simpati dan peduli mereka.
Setelah itu, kami pun pamit. Matahari sebentar lagi tenggelam. Semburat cahaya jingga  di langit menandakan hari telah senja. Sebuah rasa kekeluargaan hangat baru saja saya lalui. Melihat petani rumput laut bekerja, bercengkrama dan saling menguatkan. Membuat saya merasa damai berada dalam lingkungan seperti ini.

Kebersamaan seperti itu harus tetap terjaga. Sebab tak ada yang lebih indah darinya. Apalagi mereka memilki latar belakang dan permasalahan yang sama. Mestilah mereka, para petani, mencari jalan keluar bersama. Sebab tak ada mahluk hidup yang dapat hidup sendiri. Alam telah membuktikan, organisme yang hidup soliter lebih cepat mati dibandingkan dengan mereka yang hidup solider.

Di atas motor, dalam perjalanan pulang ke rumah saya yang berada di Kota Makassar. Jalan aspal yang membelah hamparan sawah kembali saya lalui. Saat suara azan menggema dan banyak orang bergegas menuju sumber suara, saya membayangkan kehidupan solider yang baru saja saya rasakan. Bukan soldier semu hasil rekayasa. Tetapi solider nyata seperti kehidupan petani rumput laut Cilalang. Sungguh beruntung mereka yang hidup dalam suasana seperti itu. Karena komunal lebih indah daripada individual. 
Makassar, 2017

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa