Benci Dosanya Jangan Orangnya
Belum tegak, hendak berlari. Begitulah kira-kira
kelakuan sebagian besar netizen saat ini. belum tahu persoalan dengan benar, sudah
melampiaskan amarah dengan kasar. Perilaku seperti ini sudah menghasilkan
banyak korban, salah satunya Jajuddin, seorang guru honorer asal Bogor. Ribuan komentar
mencaci, memaki, bahkan ancaman pembunuhan telah Jajuddin terima di halaman facebooknya.
Semua berawal dari penganiayaan
seorang remaja di Jakarta. Entah mengapa, Jajuddin dianggap sebagai salah satu
pelaku penganiyaan. Maka jadilah ia korban bully yang salah sasaran.
Melihat kejadian ini, saya teringat
akan pernyataan sastrawan bernama Oscar Wilde yang berbunyi “Sebagian besar
orang adalah orang lain”. Pernyataan ini saya anggap sangat sesuai dengan masa
kini, saat sebagian hidup kita habiskan di dua dunia, dunia maya dan dunia
nyata. Di dua dunia itu, kita saling bertukar pangaruh. Rasa kasihan, amarah
dan kebencian gencar dihembuskan di dunia maya. Banyak yang terpancing
berkomentar, ikut nimbrung mencaci, membully, tanpa tahu persoalan dengan pasti,
seperti kasus Jajuddin. Selepas melempar caci maki, tidak sedikit dari mereka yang
membawa amarah itu hingga ke dunia nyata.
Tidak hanya Jajuddin yang menjadi
korban bully kerumunan netizen. Asa Firda Nihaya atau yang lebih dikenal dengan
nama akun facebook, Afi Nihaya juga merasakan kata-kata pedas nan tajam yang
dikirim ke kolom komentar facebooknya. “Di-bully orang se Indonesia itu tidak
mudah. Saya juga kehilangan banyak teman dan guru saya” ujar Afi, dilansir dari
Kompas.com, Kamis (15/6/2017).
Afi Nihaya memang bersalah, hal itu
telah diakuinya. Namun, walau telah mengaku, hujatan pada dirinya tak kunjung
berhenti.
Plagiarisme yang dilakukan Afi
memang salah. Begitu pun pembunuhan, pencurian, terorisme`dan banyak ragam
kekerasan lainnya. Pada kasus terorisme, banyak yang telah jadi korban, pada Januari
hingga Mei 2017 Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah
menangani puluhan korban terorisme. Kita semua tahu menjadi teroris dan plagiat berdosa, bersalah. Tetapi kita baiknya tidak menghakimi pelaku secara berlebihan. Perilaku
menghakimi secara berlebih sesungguhnya dapat membuat kita melakukan sebuah
kejahatan dan kesalahan juga. Caci maki yang dilontarkan. Amarah yang
dilemparkan. Itu juga bentuk kekerasan, walaupun bentuknya secara verbal.
“I am really broken” jawab Afi
nihaya saat ditanya apakah ia depresi.
Tingkah laku seorang yang turut
serta menghakimi dan membully bak sebuah ironi. Berlagak suci tanpa pernah
mengingat ia sendiri pernah berbuat salah. Tidakkah semua manusia di dunia
pernah berbuat salah? Bukankah kita semua sepakat bahwa tidak ada manusia yang
selalu benar?
Mahaguru dari ajaran pantang
kekerasan, Mahatma Gandhi juga sempat merasakan banyak penghinaan semasa ia
hidup. Ia pun masih bertanya-tanya tentang perilaku menghina itu. “Bagi saya
sungguh suatu misteri, bagaimana seseorang dapat merasa diri terhormat dengan
jalan menghina sesama manusia” ujar Gandhi dalam buku All Men Brothers.
Kerumunan netizen baiknya menghayati
betul pernyataan Gandhi tadi. Rasa hormat tidak akan diberi jika caci maki dan
penghinaan yang dilakukan. Rasa hormat akan didapat apabila memaafkan dan mengikhlaskan
kesalahan yang telah terjadi. Mahatma Gandhi juga mengatakan manusia dan
perbuatannya adalah dua hal yang berbeda. Jika perbuatan itu baik akan diterima
dengan baik, tapi jika perbuatannya jahat tentu akan ditentang. Maka begitulah,
manusia akan selalu dihormati dan dikasihani sesuai dengan perbuatannya.
Saya tekankan sekali lagi, seperti
perkataan Gandhi, manusia dan perbuatannya ialah dua hal yang berbeda. Kesalahan
Afi dan para netizen pembully Jajuddin tentu sebuah kesalahan. Tetapi menghina
dan mencaci mereka juga sebuah kesalahan. Akan lebih arif dan bijaksana jika
kita mengambil pelajaran dari kesalahan yang berseliweran. Seorang pembuat
salah juga manusia, punya perasaan yang harus dijaga. Perbuatan ya perbuatan. Manusia
ya manusia. Kata Gandhi itu dua hal yang berbeda. Maka “Bencilah dosanya, tapi
jangan orangnya”.
Makassar 7 Oktober 2017
Comments
Post a Comment