Mencibir Pembangunan Pesisir



“Wilayah pesisir dan laut merupakan kawasan yang unik, karena umumnya permasalahan atau kerusakan lingkungan yang terjadi bersifat eksternalitas, yaitu pihak yang menderita akibat kerusakan bukanlah si pembuat pembuat kerusakan tersebut, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin dan lemah” Prof Dr Ir H Ambo Tuwo DEA (dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin), Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut (2011).

            Kutipan di atas sangat terasa saat ini, saat pembangunan marak dilakukan di wilayah pesisir. Dewasa ini, persoalan wilayah pesisir dan laut seringkali menjadi sorotan. Apa sebab? Hal ini dikarenakan adanya pemanfaatan wilayah pesisir dan sumberdaya laut yang berlebihan. Reklamasi, itu salah satu judulnya. Di Indonesia, terdapat beberapa daerah: Bali, DKI Jakarta, Manado dan Makassar  yang  wilayah pesisirnya tengah dimanfaatkan dengan mengatasnamakan pembangunan.

            Pembangunan di wilayah pesisir tentu harus memperhatikan banyak aspek. Mulai dari aspek ekonomi, sosial budaya dan tentunya aspek lingkungan. Hal terakhir merupakan aspek paling penting. Sebab apabila ada aktivitas yang membuat perubahan pada ekosistem, maka tentu akan terjadi ketidakseimbangan lingkungan. Karakteristik unik ekosistem pesisir yang secara fungsional terkait satu sama lain membuat ekosistem pesisir dan laut akan mudah terpengaruh pada setiap perubahan.

            Pengerukan pasir untuk penimbunan laut pada proses reklamasi tentu akan mempengaruhi ekosistem pesisir. Hal ini, menurut saya, merupakan bentuk pemanfaatan yang berlebihan. Selain itu, kedua proses reklamasi (pengerukan dan penimbunan laut) dilakukan hanya untuk membangun sarana bagi kaum kaya. Pembangunan mall, hotel dan perumahan elit di atas lahan pantai seharusnya tidak dapat terlaksana, sebab pada hakikatnya pesisir pantai harus terbuka untuk umum (open acces). Prinsip open acces bertujuan memberi kesempatan bagi semua kalangan untuk menikmati wilayah pesisir pantai. Semua kalangan dalam arti baik kaum kaya dan kaum miskin memperoleh hak yang sama dalam menikmati atau memanfaatkan wilayah pesisir pantai.

            Pembangunan mall, hotel dan perumahan elit di kawasan pesisir pantai membuat prinsip open acces bagi semua kalangan menjadi terancam. Pembangunan ketiga sarana itu, tentu dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dari masyarakat berada. Jadi, bagi mereka yang tak mampu memberi keuntungan pada para pengelola sarana tersebut, tentu hanya bisa menelan ludah.

            Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Prof Dr Ir H Ambo Tuwo DEA mengatakan dalam bukunya berjudul Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut (2011) bahwa pemanfaatan lahan pantai harus terbuka untuk umum. “Pengaturan pengelolaan sumberdaya non hayati, seperti penguasaan tanah pantai merupakan masalah hukum yang paling menonjol di wilayah pesisir. Untuk menjamin konsistensi dan keadilan dalam pelaksanaanya, maka setiap bentuk pemanfaatan tanah pantai harus dilandasi oleh prinsip pengaturan non pemilikan, terbuka untuk umum, perlindungan kepentingan penduduk, prioritas manfaat pembangunan dan penataan ruang”

            Maraknya pembangunan di wilayah pesisir disebabkan karena para investor (pemilik modal) membutuhkan wilayah baru yang lebih ekonomis dibanding di dareah lain yang lebih mahal. Pembukaan wilayah baru di pesisir pantai dianggap lebih menguntungkan karena factor kenyamanan dan sifat kepemilikan ekslusif bagi para konsumen yang berkantong tebal.

          Hal itu sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh David Harvey yang dikutip Noer Fauzy Rachman dalam bukunya Land Reform Dari Masa ke Masa (2012), bahwa pembukaan wilayah baru merupakan bentuk akumulasi dengan cara perampasan (accumulation by dispossession).

          “Dalam proses akumulasi dengan cara perampasan ia menekankan pentingnya ‘produksi ruang, organisasi pembagian kerja di wilayah baru, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumber daya baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal dan penetrasi terhadap formasi sosial’ reorganisasi dan rekonstruksi geografis sebagai akibat dari pembukaan ruang-ruang baru bagi kapitalisme…”

        Potensi modal yang dimiliki para investor mestinya oleh pemerintah diarakan ke sector atau wilayah yang membutuhkan pembangunan. Terpusatnya pembangunan pada kota besar yang telah maju mengakibatkan adanya ketimpangan pada daerah lain, sehingga pembangunan tidak merata. Selain itu, motif ekonomi sedapat mungkin berjalan dengan motif konservasi (lingkungan). Segala macam bentuk pemanfaatan yang mengancam lingkungan baiknya ditinjau kembali agar tercipta pemanfaatan dan pembangunan yang berkelanjutan.

         Prof Dr Ir H Ambo Tuwo DEA masih dalam karyanya mengatakan pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir hanya dapat dilaksanakan dalam susana politik yang demokratis dan transparan. “Mengingat karakteristik permasalahan di wilayah pesisir tersebut, maka pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam system dan suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam ini niscaya laju kerusakan lingkungan akan berlangsung lebih cepat dibanding upaya pencegahan dan penanggulangannya”

             Lantas, tidak dihentikannya proyek reklamasi karena penolakan masyarakat, apakah itu telah mencerminkan sistem dan suasana politik saat ini sudah demokratis dan transparan?  Jika tidak, mari memilih, menunggu kehancuran itu terjadi atau berbuat sesuatu sebelum kehancuran datang menghampiri. Sekali lagi, mari memilih, mari bersikap.
Makassar, 2017

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa