Belakang Istana
Istana.
Megah dan mewah. Seperti itulah pikiran saya saat pertama kali melihat Istana
Maemun di Kota Medan Sumatera Utara. Dari luar, warna kuning cerah terlihat
dominan dibanding warna hijau. Di atap, terdapat tiga kubah warna hitam dengan
bulan sabit di setiap ujungnya, khas seperti masjid. Relief semacam batik kotakkotak
warna hijau cerah juga terukir indah di atas gerbang masuk istana.
Saya
pun bergegas masuk, menaiki tangga hingga di ruang tengah. Di sana lampu
gantung membuat suasana lebih megah, diikuti dengan relief plafon yang tak
kalah mewah. Di sebelah kanan terdapat singgasana. Sebuah bantal tergeletak di
atasnya. Bukan untuk tidur, tapi untuk Sultan duduk bersila. Ruangan itu memang
digunakan oleh pemimpin dari Kesultanan Deli pada masa lalu sebagai ruang utama.
Kesultanan
Deli, yang saat itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Al Rasyid membangun Istana
Maemun pada tahun 1888 sampai 1891. Bangunan Istana maemun terdiri dari dua
lantai dan tiga bagian bangunan. Bangunan sayap kiri, bangunan sayap kanan dan
bangunan induk. Arsitektur Melayu, Eropa dan India berpadu menjadi bangunan
istana.
Selain
Istana, di sebelah kanan terdapat bangunan yang memliki benda yang tak kalah
bersejarah, Meriam Puntung.
Tak
hanya itu, di belakang Istana, ada sejarah yang terlupakan. Bahkan tak dihiraukan.
Dahulunya menjadi nyawa perdagangan Kesultanan Deli. Berkelak kelok, dengan air
mengalir dan dahulu banyak perahu layar di atasnya, Sungai Deli.
Sebelum
saya berkunjung ke Istana Maemun hari itu, Jumat 13 Oktober 2017, saya bersama peserta
Pelatihan Nasional Pers Mahasiswa (Pena Persma) dan komunitas peduli sungai
bernama Go River mengarungi sungai Deli. Sebuah speed boat milik komunitas yang berdiri tahun 2014 itu bergerak
mengikuti arus, mengantarkan kami yang berjumlah sepuluh orang.
Mengarungi sungai Deli bersama peserta Pena Persma 2017 dan komunitas Go Riiver |
“drrrrrr”
suara mesin speed boat beradu dengan
riak air yang pecah tatkala kami berlalu. Di tepi beberapa pemancing menyepi,
menunggu ikan memakan umpan. Tak hanya laki-laki, pemancing perempuan pun satu
dua tampak setia di tepi sungai, sambil memegang sebatang rokok di tangannya.
Di sekitar pemancing, sampah plastic terserak di mana-mana dengan ragam warna
seperti pelangi. Ada yang di tepi, tersangkut di pohon dan tidak sedikit yang hanyut
mengikuti arus sungai.
Setelah
melewati bawah jembatan, belakang gedung tinggi dan pemukiman warga. Di tengah
perjalanan mengarung sungai, speed boat
sempat terhenti, akibat sampah tersangkut ke baling-baling. “Ini sudah jarang,
dulu sering begini bang, sebelum kami bersihkan” kata salah seorang anggota
komunitas Go river.
Sungai Deli, Kota Medan Sumatera Utara |
Saya
hanya tertegun mendengarnya, sudah dibersihkan pun masih kelihatan kotor dan
kumuh. Masih banyak sampah. Saat speed
boat kembali berlayar seorang remaja terlihat tengah buang hajat. Saat
melihat kami, sontak ia berdiri menarik celananya kembali. Sambil menganga ia
terus memandangi kami yang terus mengikuti arus sungai. Tak berselang lama,
nampak tiga ibu rumah tangga asik bercengkrama sambil mencuci pakaian. Saya
melihat di Sungai Deli masih banyak kegiatan Mandi Cuci Kakus (MCK) sehingga limbah
detergen sampai hasil pencernaan manusia pun dibuang ke sungai.
Selain itu, banyak rumah
yang sudah punya kamar mandi namun pipa pembuangannya menjulur tepat ke atas sungai,
saat kami melintas, terlihat sekilas nampak seperti air terjun. Keruh air
sungai pun sudah seperti susu coklat, saat busa detergen kami lewati, pamandangan
itu mirip dengan moccachino float di
KFC.
Hal itu tentu bak sebuah
ironi. Sungai Deli yang panjangnya kurang lebih 72 kilometer itu tentu bukan
hanya sebatas air pembuangan yang mengalir. Menjadi penampung air dan sebagai
habitat hidup hewan ialah salahdua dari banyak fungsi sungai. Hewan air seperti
ikan lele, nila, sapu-sapu, labi-labi hingga udang lobster menjadi penghuni
Sungai Deli. Adanya hewan air itu juga tidak lepas dari kebiasaan etnis
tionghoa melepas hewan ke sungai. “Untuk buang sial” kata Ifan salah seorang
relawan Go River.
Semakin padatnya kota
juga berpengaruh pada lingkungan sungai. Pencemaran sungai karena limbah pabrik
maupun limbah rumah tangga, dan sampah plastic semakin bertambah serta pengdangkalan
sungai merupakan akibat dari manusia.
Memang menjadi
penggerak perubahan bukan hal mudah. Dukungan dari setiap pihak seperti
pemerintah, swasta dan terutama masyarakat sangat perlu dalam menjaga
lingkungan. Komunitas Go River setidaknya telah mengangkat isu lingkungan Sungai
Deli. Penyadaran masyarakat dilakukan dengan
dua cara, pertama melalui sekolah sungai yang diadakan di taman edukasi
avros dan kedua melalui publikasi media agar setiap elemen paham akan pentingnya
mengembalikan sejarah Sungai Deli.
Medan 16 Oktober 2017
udah main main ke medan juga ya bang
ReplyDeleteWkwkwk Iya bang
Delete