Iklan Rokok dan Penampilan
Ramadhan
telah berlalu. Tidak terasa kita telah ditinggalkannya. Bayangan nikmatnya
santapan saat bulan suci umat islam itu mungkin masih membekas di kepala.
Hingga kadang air liur tumpah saat bernostalgia. Orang-orang pun berdoa, agar
umur dipanjangkan supaya dapat kembali merasakan indahnya ramadhan. Namun, bagi saya ramadhan kali ini (1437 H /
2016 M) yang membekas di ingatan bukan makanan atau minuman, tapi iklan.
Iklan perusahaan rokok memang setiap
tahun menampilkan pesan-pesan moral saat bulan Ramadhan. Dalam iklan tahun ini dibintangi oleh
para lelaki berambut panjang dan bertampang preman. Awal iklan ini dimulai
dengan mereka yang tampak mencurigakan. Orang-orang disekitarnya pun mulai
berprasangka yang buruk pada mereka. Hanya dari tampang orang-orang ini ingin
ambil kesimpulan.
Adagan-adegan di iklan itu terasa begitu
dalam. Bahkan mungkin adegan-adegan itu pernah kita alami. Baik sebagai orang
yang dicurigai atau sebagai orang yang mudah menilai. Setiap orang pasti pernah
berprasangka dan setiap orang pasti pernah menilai buruk orang lain tanpa tahu
pasti keadaannya. Penilaian yang kita beri ke orang lain pun tidak dilandaskan
pada rasionalitas. Seringkali didasari sifat iri, dengki, dan cerita-cerita
miring terhadap orang atau kelempok tertentu. Hanya dengan tampak luar, juga
kelakuan yang diluar kebiasaan, orang-orang sudah memberi stereotip-pelebelan/cap.
Mungkin sudah seperti itulah
kehidupan manusia, dipenuhi konlik dan intrik. Seperti kata Sartre, salah satu
filsuf terkenal abad 20. “orang
lain adalah neraka”adalah diktum terkenal Sartre. Dalam konsep Sartre, kehidupan manusia itu saling menidak,
saling menegasikan satu sama lain. Hanya dengan tatapan mata kebebasan atau pun
kenyamanan orang lain mampu direnggut. Kehadiran orang lain membuat satu sama
lain saling berprasangka, hingga satu sama lain merasa dirinya ada di ‘neraka’. Itu hanya tatapan
mata, belum lagi jika caci maki atau kata-kata kasar sudah terlontar.
Sikap acuh tak acuh orang bertampang
preman pada iklan rokok itu membuatnya lepas dari prasangka orang disekitarnya.
Sikap ‘peduli amat’ atau ‘cuek’ memang mebuat kita terhindar dari ‘neraka’ yang
dibuat orang lain. Jika memikirkan apa yang dipikirkan orang lain tentang kita,
maka itu sama saja masuk ke dalam ‘neraka’. Biarkan saja orang lain menikmati
‘neraka’ mereka karena berprasangka.
Iklan perusahaan rokok ini diakhiri
dengan senyuman. Entah maksudnya penyesalan atau perasaan yang lega. Menilai
orang lain memang bukan perkara mudah. Seringkali kita salah dalam menilai.
Padahal alangkah indahnya kebersamaan tanpa adanya prasangka negative satu sama
lain. Prasangka memang menciptakan ‘neraka’, tapi marilah hilangkan prasangka,
maka ‘surga’ yang akan dirasa.
Dalam iklan rokok ini pula saya
melihat simbol-simbol yang menjadi paradigma masyarakat kebanyakan. Seperti orang
berkacamata, warna baju yang dipakai, orang urakan dan pria berambut gondrong.
Orang berkacamata dalam iklan ini digambarkan sebagai orang lemah, lugu dan
pemalu. Dalam masyarakat juga seringkali menganggap orang berkacamata sebagai
orang yang pintar. Walaupun sekarang kacamata menjadi barang untuk bergaya.
Warna baju yang dipakai menunjukkan symbol perbedaan. Seringkali perbedaan
warna menjadi awal mula prasangka.
Pria berambut gondrong dan orang
berpenampilan urakan seringkali dicap sebagai orang jahat, preman dan dianggap
tidak bisa mengurus dirinya. Paradigma masyarakat seringkali menilai kesopanan
dari penampilan dan pakaian. Bagiku hal semacam itu sangat tidak adil. Mana
mungkin kesopanan dapat dinilai dari pakaian. Adalah hal lucu jika tingkat
kespoanan seseorang bisa naik saat harga pakaiannya juga tinggi.
Berpakaian itu
soal kenyamanan, bukan soal kesopanan. Kesopanan itu terlihat lewat tingkah
laku, sikap, dan cara bertutur. Bukan dengan pakaian dan penampilan yang
dibuat-buat. Percuma orang berjas,
bersepatu kalau uang rakyat juga ikut masuk ke dalam saku. Percuma rambut
klimis dan tampilan necis kalau godaan syahwat tak bisa ditangkis.
Melihat
ironi ini saya jadi teringat kata-kata seorang hippies yang di tulis Soe Hok Gie dalam tulisan berjudul Sebuah Generasi Yang Kecewa “bagiku yang
paling penting itu ketulusan dari hati, bukan tata kesopanan yang dibuat-buat”.
Makassar,
18/7/2016
Comments
Post a Comment