Pertanyaan untuk Pemantik Api Konflik
Pramoedya Ananta Toer, Subuh.
Tahu engkau
bagaimana sakitnya konflik antar pemeluk agama? Pertanyaan ini saya dapati pertama
kali di beranda facebook (13/Mei/2017).
Ditulis oleh seorang mantan wartawan Tempo, Tomi Lebang. Pertanyaan itu merupakan
penutup sebuah catatan dari dua peristiwa konflik antar pemeluk agama.
Catatan itu dimulai
dari konflik di Ambon. Para pendatang yang hendak masuk ke Ambon diberondol
pertanyaan ‘anda Acang atau Obed?’ ‘anda Hasan atau Robert?’ inilah akibat konflik,
terjadi dikotomi kehidupan masyrakatnya. Peristiwa ini membuat “Kehidupan penuh
curiga dan masa depan yang tak pasti” kata Tomi dalam catatannya.
Selanjutnya di perbatasan Pakistan-Afganistan,
dalam catatan Tomi Lebang, gambaran akibat dari konflik agama di daerah itu,
membuat hati bergidik ‘ngeri’. Bayangkan saja, saat memasuki lembah penampungan
pengungsi, banyak pengungsi tanpa kaki, tanpa tangan, dan tanpa keduanya. Tomi
Lebang mengungkapkan “...Kompleks itu, Masya Allah, lautan manusia cacat: sebuah
dunia yang bahkan tak terbayangkan oleh mimpi”
Ketika tulisan ini dibuat, saya
mesti membaca kembali catatan itu, dan saya berungkali mengucap syukur. Syukur
akan nikmat kesehatan dan perdamaian yang selama ini saya rasa. Saat dua
kejadian diatas, saya masih kanak-kanak. Dan beruntung, saya berada jauh dari
daerah konflik.
Kini, di dunia maya, aroma konflik agama
kembali tercium. Saat kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ibukota
negara berlangsung, percikan api konflik agama semakin menjadi-jadi.
Bermodalkan gawai, tiap kubu seakan mengipasi percikan api menjadi lebih besar.
Bahkan setelah pilkada selesai, fenomena ini nampaknya belum juga usai. Penggunaan
isu berbau Suku, Agama dan Ras (Sara) dalam perhelatan pesta demokrasi untuk menjatuhkan
lawan politik merupakan tindakan yang mengorek luka lama.
Saya tak habis pikir, tidakkah
mereka belajar pada masa lalu? Pada peristiwa Ambon, Poso, dan daerah jauh yang
merasakan musibah seperti itu.
“Lenyapnya perikemanusiaan dalam
kegalauan social busuk, berarti tipisnya kepribadian, bukan saja sebagai
bangsa, tetapi juga sebagai individu. Dan bangsa atau nasion yang begitu mudah
menanggalkan perikemanusiaan dengan sendirinya mudah pula tersasar dalam
perkembangan sejarah” ujar Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Saya memang belum tahu banyak
tentang dunia politik, apalagi masalah agama. Dalam sependek pengetahuan saya,
dan sempitnya refrensi bacaan saya, serta kurangnya pemahaman saya tentang
tafsiran dunia. Saya hanya mengetahui bahwa semua agama pasti mengajarkan kebaikan,
bukan kekerasan ataupun perang terhadap sesama manusia. Dan yang saya tahu
pasti, konflik tak akan membawa satu pun manfaat positif di muka bumi ini.
Tulisan ini tidak akan memberi
sebuah jawaban bagi pelaku intoleran. Tapi tulisan ini akan menambah pertanyaan
untuk mereka yang memantik api konflik agama. Maukah kalian hidup dengan penuh
curiga dan masa depan tak pasti? Maukah kalian saling menyakiti hingga bumi
hijau kita berubah menjadi merah darah? Saya harap jawabannya tidak dan tak
akan pernah mau.
Makassar
19/6/2017
Comments
Post a Comment