Jangan Persempit Literatur Kami!
gambar: issu.com |
Para tokoh negeri ini pun sebagaian besar
penikmat dan penulis buku. Sebut saja, Hatta yang rela dipenjara asalkan
bersama sekoper buku-buku, Tan Malaka yang begitu produktif menuliskan
pemikirannya mejadi sebuah buku, dan Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan
Indonesia pernah berkata “kemajuan bangsa ini bertumpu pada kemampuan membaca
banyak buku”
Namun, di negeri ini buku ialah
sebuah ironi. Di era demokrasi ini buku
belum mendapat tempatnya untuk bersuara lantang. Seringkali diabaikan, bahkan beberapa
buku diberangus, dilarang beredar. Dari zaman Soekarno sampai zaman Reformasi,
pelarangan buku-buku tertentu masih saja terjadi. Bahkan di tahun 2016 ini
terjadi kasus penyitaan buku-buku komunisme atau biasa disebut buku “kiri”.
Seperti diketahui, sejak awal mei lalu, kasus penyitaan dan pelarangan hal-hal
yang berbau “kiri” marak terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Dari
lapak-lapak buku kecil maupun supermarket buku yang ada di pusat perbelanjaan
dirazia oleh aparat.
Tidak hanya itu, perpustakaan
nasional juga diberitakan mendukung upaya pemberangusan buku-buku “kiri”.
Seperti yang diberitakan Tempo.CO Senin (16/5/2016) kepala Perpustakaan
Nasional, Dedi junaedi, mendukung tindakan itu “kalau ada buku itu nanti
meresahkan, nanti terprovokasi” ujarnya.
Saya tidak bisa membayangkan apa
yang akan terjadi jika tindakan-tindakan ini tetap berlanjut. Mungkin teman-teman
mahasiswa ilmu sosial dan sejarah nantinya akan kehilangan banyak literature. Hingga
akhirnya mereka belajar hanya dari satu sumber. Hal ini sama saja dengan menghalang-halangi
kebebasan mencari dan mengolah informasi. Para pemuda tidak lagi memperoleh
pengetahuan secara mandiri dan kritis. Mereka hanya disuapi terus tanpa
melakukan perbandingan liteartur satu dengan yang lainnya.
Mungkin almarhum Soe Hok Gie masih
harus menunggu agar impiannya bisa terwujud. “Saya bermimpi bahwa di masa depan
universitas-universitas akan mendapat kebebasan mimbarnya kembali. Dan
mahasiswa merasa bahwa kebebasan mimbar adalah suatu yang fundamental bagi
hidup mereka di dalam kampus. Seorang dosen yang marxis akan ditentang oleh
mahasiswa dengan literature yang non - bahkan anti marxis. Dan seorang dosen
yang anti komunis akan dihujani pertanyaan-pertanyaan bersumber pada buku
komunis, yang dibaca oleh mahasiswa dalam perpustakaan universitas” kata Gie
dalam tulisan Berjudul Mimpi-Mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua.
Pelarangan buku “kiri” adalah
kemunduran yang luar biasa, selain itu merupakan pekerjaan yang sia-sia. Di tengah
arus informasi yang sangat cepat. Informasi atau tulisan beraliran apapun akan
sangat mudah dicari dengan gadget digital.
Pelarangan buku-buku ini merupakan tindakan bodoh. Dalih ingin meredam tindakan
makar dan provokasi adalah lagu lama yang dinyanyikan kembali oleh aparat. Penegak
hukum pada dasarnya tidak boleh mencampuri atau menghalang-halangi proses
pencarian kebenanran melalui literature -buku. Aparat baru harus bertindak
apabila ada pihak-pihak yang sudah memaksakan kehendak dengan cara kekerasan.
Pemikiran pada dasarnya hanya dapat
dilawan dengan pemikiran. Bukan dengan senjata atau peraturan. Jika anda tidak
setuju dengan tesis tertentu maka buatlah antithesis yang bisa membuat orang
lain berkesimpulan bahwa pemikiran yang anda tentang adalah sebuah kesalahan. Biarlah
sertus bunga berkembang, biarlah sejuta pikiran berlawanan. Pada akhirnya kita
semua akan menemukan kebenaran masing-masing.
Dengan buku kita akan menemukan
semuanya. Sejarah yang diubah, kebenaran yang
ditutup-tutupi, dan kesalahan yang disembunyikan serta pemikiran-pemikaran baru
yang patut dikaji bersama. Jangan sampai kita semua seperti katak dalam
tempurung. Menutup diri dari segala hikmah dan makna yang tersurat. Mengira
tempurung adalah langit padahal diluar sana lebih luas adanya. Maka dari itu jangan
persempit literature kami dengan melarang atau memberangus buku.
Diterbitkan pertama kali di koran kampus identitas Unhas tahun 2016.
Comments
Post a Comment