Pentingnya Interaksi dan Kerjasama Petambak Rumput Laut
Sulawesi Selatan ingin jadi sentra produksi rumput laut
nasional.Pemerintah provinsi menargetkan produksi 4,28 juta ton rumput laut,untuk
mencapai target itu, dibutuhkan kerjasama antar petambak dan penyuluh.
Seorang petambak
rumput laut melihat petambak lain menggunakan pupuk. Katanya untuk mempercepat
petumbuhan. Pupuk itu pun ia gunakan, terus menerus, tanpa tahu dampaknya. Selain
itu, untuk mendapatkan penghasilan di setiap musim, tambak tak pernah diberikan
waktu perawatan, seperti pengeringan.
Hingga saat,
kegiatan penyuluhan dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan dosen perikanan Unhas
datang ke kampungnya, di lingkungan Cilalang Kabupaten Takalar. Petambak itu
pun tahu, tambak tanpa pengeringan dan pupuk yang Ia gunakan itu tidak baik
untuk petumbuhan rumput laut.
Saat penyuluhan,
saya juga hadir, dan melihat juga mendengar pertukaran informasi dari petambak
(orang lapangan) dan dosen (ahli riset). Bertemunya dua kelompok ini tentunya
akan saling mempengaruhi, saling memberi pengetahuan yang masing-masing
kelompok punya. Petambak menyampaikan kondisi di lapangan (tambak), dan dosen
menyampaikan hasil riset dan ilmu dari universitas.
Dalam teori
sosiologi, dua peristiwa di atas termasuk dalam interaksi sosial. Menurut
Soerjono Soekanto, berlangsungnya interaksi sosial didasarkan berbagai factor,
antara lain imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.
Perilaku
petambak mengikuti petambak lain untuk memakai pupuk tanpa mengetahui dampaknya
termasuk dalam interaksi sosial yang didasari fakor imitasi. Sedangkan,
kegiatan pertukaran informasi saat penyuluhan dari dosen ke petambak penuh
dengan factor sugesti, pemberian wawasan baru.
Interaksi sosial
antar kelompok seperti kelompok penyuluh (Dosen, Mahasiswa, Lembaga Swadaya
Masyarakat) dan kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai petambak tentu
sangat penting. Contoh di atas sudah jadi bukti. Jika tak ada interaksi dari
kelompok luar (fasilitator/penyuluh), para petambak akan terjebak dalam informasi
yang itu-itu saja, bahkan keliru, sehingga akan berdampak pada perekonomian
mereka.
Untuk
menghindari interaksi yang akan berakibat negatif, mesti dilakukan interaksi di
dalam kelompok petambak (in group)
yang didasari factor sugesti dan identifikasi. Pemaknaan identifiskasi lebih
dalam dari imitasi. Identifikasi lebih menjiwai, lebih paham akan kaidah yang
akan ditiru.
Hadirnya
kelompok luar (out group) yang
memiliki pengetahuan baru seperti dosen, mahasiswa atau LSM memungkinkan adanya
sugesti ke dalam kelompok petambak. Selain sugesti, dibutuhkan pula kerjasama
antar dua kelompok tadi.
Kerjasama akan
terjadi saat interaksi antar individu atau antar kelompok memiliki kepentingan
untuk mencapai tujuan atau terhindar dari ancaman yang sama. Ada beberapa jenis
kerjasama, seperti kerjasama spontan, kerjasama kontrak dan kerjasama
tradisional atau gotong royong.
Dari kerjasama
itu, hasilnya, bisa berupa contoh (role
model) mengelola tambak yang menghasilkan keuntungan tinggi secara ekonomi dan
juga ramah terhadap lingkungan. Kerjasama seperti ini, jika berhasil, akan
terjadi interaksi sosial antar petambak yang didasari factor identifikasi,
yakni kecenderungan untuk menjadi sama, dalam artian lebih menjiwai dan lebih
paham kaidah dari tambak ideal yang akan ditiru oleh kelompok petambak lain,
misalnya dari desa/daerah lain.
Namun, membangun
kerjasama tidak mudah. Perbedaan cara pandang (perspektif) dan adanya prasangka dari masyarakat petambak pada
kelompok penyuluh jadi hambatan utama. Selain itu, semestinya kebijakan dari
pemerintah tidak berubah-ubah dan harus berkesinambungan dari pemangku jabatan
sebelumnya, hal ini memudahkan penyuluh membuat materi penyuluhan yang
konsisten.
Hadirnya UU No
16 Tahun 2006 tentang sistem penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan juga
telah mengatur adanya penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Peran keduanya
tidak mudah, sebagai orang dari luar kelompok petambak, tugas yang diemban
sebagai penguat hubungan antar petambak (produsen) dengan pelaku usaha (distributor).
Roem
Topatimasang menyampaikan dalam bukunya berjudul Mengorganisir Rakyat, bahwa,
saat turun ke masyarakat/rakyat akal atau pikiran fasilitator/penyuluh mesti
diperas sebanyak mungkin untuk melakukan pendekatan yang bisa diterima.
“Seorang pengorganisir
harus menciptakan suasana yang sedemikian rupa, sesantai mungkin, tanpa beban,
sehingga tidak menimbulkan harapan-harapan baru berlebihan atau, sebaliknya,
rakyat disana malah bercuriga atau pasang kuda-kuda,” tulis Roem di halaman 35.
Roem menjelaskan,
perubahan harus mulai dari rakyat sendiri. memancing mereka untuk berpikir
kritis, lalu dari hasil analisisnya, diharapkan adanya kesadaran baru yang
menjadi landasan tindakan yang akan mereka lakukan.
Interaksi antar
petambak harus terjalin dengan baik, bersatu mengidentifikasi masalah yang akan
menghalangi pekerjaan bersama. Sedang penyuluh/fasilitator dibutuhkan untuk memancing
dan mendampingi sambil memberi kesadaran dan wawasan baru. Kesadaran dan
Wawasan baru tidak akan didapat, jika interaksi hanya antar petambak saja.
Musthain Asbar Hamsah
Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan Unhas
Dimuat pertama kali di rubrik opini Harian FAJAR Jumat 12 Januari 2018.
Comments
Post a Comment