Resensi : Kitab Omong Kosong SGA




Mendaras Kitab Omong Kosong
“Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah dibaca, karena membuang waktu pikiran dan tenaga. Sungguh hanya suatu omong kosong belaka...”

            Seno Gumira Ajidarma (SGA), memohon, meminta beribu maaf agar karyanya yang satu ini tidak usah dibaca. Karyanya itu berjudul Kitab Omong Kosong. Dengan tebal 456 halaman, buku ini diterbitkan Bentang Pustaka pertama kali pada tahun 2004. Walaupun penulisnya mengatakan bukunya hanya “omong kosong belaka” tetapi pada tahun 2005, buku ini meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa.

            Dalam buku ini kisah pewayangan Ramayana karangan Walmiki menjadi pembuka. Kisah cinta Sri Rama dengan Dewi Sinta digubah dengan gaya khas SGA. Bukan hanya sekedar bercerita, kitab ini mengajak kita berpikir. Seperti saat Sri Rama dalam keadaan bimbang, mesti memilih Dewi Sinta yang katanya tidak suci lagi setelah disekap Rahwana di negeri para raksasa. Sedang seluruh masyarakat negeri yang dipimpinnya tidak menghendaki istrinya. “Sebagai raja kau harus memilih, rakyatmu atau istrimu” kata Laksamana, saudara Sri Rama.

            Dewi Sinta pun memilih pergi dari negeri Ayodia. Rakyatnya berpesta, sedangkan Sri Rama bermuram rupa. Persembahan kuda pun dibuat sebagai bentuk penyesalan atas ketidakpercayaannya pada Dewi Sinta. Maka seluruh anak benua pun diserbu. Hingga pasukan Ayodiya bertemu anak dari Dewi Sinta, Lawa dan Kusa. Keduanya mempertemukan orangtua mereka. Tetapi pertemuan itu berujung matinya Rama dan Sinta dari dunia.

            Berbagai perbincangan antar tokoh dalam penggalan kisah pembuka buku ini begitu menarik untuk dinikmati. Seperti percakapan Sinta dengan Walmiki yang sedang duduk santai di rumah panggungnya. “Semesta Selamanya Mengagumkan, Sinta, Seperti Manusia” ujar Walmiki menanggapi kekaguman Sinta pada alam. Namun, Sinta menjawab “Manusia Tidak Mengagumkan, Manusia Menyebalkan”. Jawaban itu membuat Walmiki bertanya pada Sinta “Ya, Tapi Tanpa Manusia, Apalah Artinya Alam?”

            Pada pertengahan buku ini peran utama berganti ke seorang pelacur dengan tatto kuda dipunggungnya dan seorang remaja korban perang persembahan kuda, Maneka dan Satya. Walaupun peran utama berganti tapi latar cerita masih sama. Nasib Maneka dan Satya digambarkan begitu pedih. Tidak hanya itu, seluruh rakyat jelata anak benua ikut merasakan kepedihan perang. Semua itu akibat perbuatan tokoh-tokoh besar (Rama, Sinta dan Rahwana).

            Maneka ingin menggugat nasibnya. Ia ingin bertemu Walmiki sang pengarang cerita. Maka ia dan Satya mengembara mencari sang pencerita. Mulai dari desa kecil hingga kota besar mereka lalui. Berjalan dengan pedati yang dibawa sapi, mereka berarak menuju senja.

            Dalam buku ini, bukan hanya Maneka yang meggugat Walmiki. Beberapa tokoh pewayangan dalam kisah Ramayana juga turut menggugat. Mereka yang menggugat seolah-olah mempunyai pertanyaan yang sama, Mengapa kami tidak bisa menentukan nasib diri sendiri? Bisakah kami berkuasa atas diri kami sendiri? Tidak ditentukan oleh seorang pangarang cerita.

            Setelah gugatan ke Walmiki selesai, Maneka dan Satya masih mengembara. Kitab omong kosong menjadi target selanjutnya. Kitab itu berisi rangkuman ilmu pengetahuan yang telah hancur saat perang. Maka untuk mempersingkat waktu agar peradaban tidak hilang begitu saja, Satya berupaya mendapatkan kitab itu. “Mudah untuk menyerbu, membantai dan menghancurkan peradaban, tetapi tidak pernah mudah untuk membangunnya kembali”

            Secara keseluruhan buku ini sangat menarik. Walaupun sedikit agak membingungkan bagi saya yang sebelumnya tak pernah mendengar kisah pewayangan. Tetapi banyak percakapan menarik dalam buku ini. Mulai dari ihwal kemanusiaan, penulisan sampai pembahasan ke arah filsafat ada dalam karya SGA ini.

            Pada akhir tulisan ini, perkataan Satya pada halaman 118 sepertinya cocok untuk jadi penutup “Penulis yang tidak mampu membaca dunia, hanya akan jadi penyalin seperti aku. Mengutip sana dan mengutip sini dan menceritakannya kembali pada orang.” Selamat membaca.

Resensi ini pernah diterbitkan koran kampus identitas Unhas.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa