Rindu Dari Tanah Rantau



Pulang, kata yang salama ini aku rindukan untuk dilakukan. Belasan tahun sudah aku berjuang. Di parantauan berpeluh keringat mengejar uang, nama dan jabatan. Rasa malu dan mimpi-mimpi  dari kampong halaman jadi bekal. Dengan Arif kawan seperjuangan, aku berangkat ke perantauan.
“Akhirnya kita pulang juga” ujar Arif membuyarkan lamunanku
Aku hanya menatap lurus kedepan, menatap laut luas di atas buritan kapal, diatas deru ombak.
“Apakah pencapaian kita ini sudah cukup ?” lanjut Arif
            Aku masih terdaiam lama. angin berhembus, menerpa wajahku. Awan berarak perlahan, begitu juga dengan kapal ini. Waktu pun berjalan lambat, bagiku. Ingin rasanya cepat-cepat bertemu sanak keluarga.
Aku mengambil nafas lalu menjawab singkat “Entah”
            Tak ada hal lain selain keluarga dalam pikiranku. Pencapaian di tanah rantau urusan kesekian untuk kupikir saat ini. Iksan, saudaraku satau-satunya bagaimana kabarmu? bagaimanakah kesahatan ibu ? dan bapak, apa bapak masih marah ?
“Lantas, apa yang kau pikirkan ? kau terlihat begitu murung?” Arif penasaran
“Keluarga di sana, mungkinkah mereka mau menerimaku”
“Oh itu, saya rasa kau tak perlu risau soal itu, mereka pasti rindu juga sama kau”
“Tapi..”
“Tapi apalagi, kejadian itu sudah lama, mereka juga pasti sudah lupa”
            Ahh kejadian sialan itu, penghancur hidupku. Seandainya saja aku tak melakukannya. Seandainya saja kambing itu tak aku angkut. Mungkin aku hanya tinggal di kampong. tak merantau di tanah orang. Dan bapak tak murka kepadaku hingga menguisir anak sulungnya ini.
            “Pergi kau, bikin malu keluarga, siri’-siri’ ma nakke nak. Cari makan itu bukan seperti ini, bukan jadi pencuri. Sudah pergi kau sebelum kau mati dihabisi warga sini” usir bapak sambil melemparkan pakaian dari bilik kecilku.
            Masih terngiang kata-kata makian yang keluar dari mulut bapak. Saat itu semua berasa suram. Bahkan awan menjadi hitam dan Langit mendung ketika murka bapak semakin membara. Ibu dan iksan hanya terdiam melihatku duduk bersimpuh sesal. Sesekali air mata ibu meleleh. Aku bangkit  melangkahkan kaki.
“Maaf bapak ibu, pergika’ dulu, doakan aku bu’”
“Iya nak” kata ibu sambil mengelus kepalaku, kali ini tangis ibu pecah
            Angin kencang, dedaunan berjatuhan. Kulangkahkan kaki meninggalkan tanah kelaihran menuju kampong orang. Perbuatanku meninggalkan coreng hitam di muka bapak dan mebuat malu keluargaku. Sesal tiada arti kini. Semua sudah terjadi. Demi mendapat rupiah untuk dibanggakan di depan keularga aku kalap jadi pencuri. Ayam, sapi, bahkan kambing tetangga. Saat itu aku gancar dicari-cari. Tapi aku lari pergi, hingga tak dianggap lagi.
            Persembunyianku berhasil. Aku dan arif lari ke pulau seberang, di tanah orang. Bekerja serabutan yang penting cukup untuk makan. Mulai dari kerja bangunan hingga jadi supir angkutan. Semua dijalani dengan senang. Penghasilanku kemudian aku gabung dengan gaji Arif untuk bayar kontrakan. Tak jarang kami makan makanan sepiring berdua. Hingga saat kami memiliki usaha di bidang perbengkelan. Kemampuan Arif sebagai montir  ia dapat dari bangku SMK. Jika Arif jadi montir,  maka aku yang jadi kasir.
            Usaha bengkel itu kami dapat dari Achiem, seorang keterunan cina. Awalnya Achiem hanya mempekerjakan Arif dibengkelnya. Aku hanya kenalan biasa Achiem. Namun karena sering berkunjung ke bengkelnya aku pun akrab dengannya. Dan, diangkatlah aku menjadi pegawai serba bisa di bengkelnya. Bantu angkat ini, bantu ambil itu menjadi tugasku. Sedang Arif, menjadi montir andalan untuk semua motor penyakitan.
“Jika kau berdua rajin kerja, oe akan kasih kalian hadiah” ujar Achiem pada suatu waktu
            Kami semangat bekerja. Arif kadangkala belepotan oli kendaraan, sedang saya berpeluh keringat bercucuran. Achiem pun mengganti itu semua dengan gaji yang berganda. Walau Achiem keteutrunan Tionghoa tapi ia tidak pelit seperti kata orang kebanyakan. Ia bahkan sangat peduli pada kami.
            Pernah suatu waktu bengkel itu akan di jarah orang-orang. Suasana kacau. Riuh orang-orang menyerbu toko sebelah bengkel. Kami yang mendengar kabar itu sontak bergegas.
“Bakar… bakar... bakar...” riuh orang teriak-teriak
            Kami pasang badan. Bangkit berdiri, menyiapkan perlawanan. Achiem dan putrinya bersembunyi dalam katakutan.
“Jangan kalian ganggu bengkel ini” tegasku mengusir
“Cari saja tempat lain” tambah arif dengan tangan sudah bersiap memegang badik di pinggul
            Orang-orang itu hanya menatap kami tajam. Amarah masih terpancar di mata mereka. Aku sempat menelan ludah menatap mereka. Tapi jika bengkel ini habis dijarah maka perut kami akan keroncongan pula.
            “Sudah tinggalkan tempat ini, aparat akan segera tiba disini, ayoo” salah satu dari mereka mengkomandoi. Beberapa masih tinggal di toko sebelah, beberapa lagi sudah lari bawa barang hasil jarahan. Kami berhasil mencegah penjarahan di bengkel Achiem. Namun sayang, Achiem meninggal pada peristiwa itu. Akibat dari penyakit jantungnya  yang kambuh.
            Kemudian putri Achiem melanjutkan usaha ayahnya. Saat itu pun aku diangkat jadi kasir. Dan, hal yang tak aku sangka, Arif diangkat secara resmi jadi suami oleh putri Achiem. Tiga bulan setelah Achiem dikuburkan. Resepsi nikahan Arif dilangsungkan. Di tanah rantau jodoh Arif dipertemukan.
            Kenangan pengusiran itu membuatku menatap kembali jalan terjal kami di perantauan. Aku dapat kerja dan Arif dapat jodoh. Deru kapal masih bersahut-sahutan dengan suara ombak. Angin terus menerpa dengan sepoi-sepoi, bahkan Arif yang hendak menyalakan rokok terlihat begitu kesulitan.
“Kau masih memikirkan keluargamu ?” Arif membuyarkan lamunanku
“Tidak”
“Lantas, apa?”
“Aku berpikir betapa beruntungnya kita di tanah rantau sana, bagaimana mungkin ini terjadi ?”
“Kau ini terlalu banyak berpikir, hal seperti itu mestinya disyukuri saja” Arif menghisap rokoknya dalam-dalam lalu berkata dengan asap yang dihembuskan “semua ini berkat falsafah cappa’ tallua
“Yayaa betul itu, kau berhasil mengamlakanya eh” sahutku sambil tersenyum
“Ah bukan saya, tapi kita” ujar Arif, ikut tersenyum.
            Saat itu saya jadi teringat falsafah kampong kami: cappa’ tallua (tiga ujung). Ujung lila’ (lidah), ujung buto (kemaluan), dan ujung badik. Ujung lidah berarti menjaga lisan, bertutur dengan sopan dan santun. Ujung kemaluan, berarti menjaga sikap, tidak asal berbuat. Dan ujung badik berarti menjaga harga diri, jangan mau direndahkan. Ketiga falsafah itulah yang menjadi tumpuan kami di tanah rantau.
            “Ingat ini cappa’ tallua, maka kau akan dijauhi oleh kesusahan dan di hampiri kemudahan” tutur salah seorang tetua di kampong.

***

            Aku tiba tepat di depan rumah. Semua masih tampak sama, tak ada yang berubah. Pagar kayu yang tampak kusam, kandang ayam disisi rumah, dan pohon mangga yang kokoh berdiri memberi keteduhan. Ku langkahkan kaki perlahan, lalu kuketuk pintu depan. Tuk tuk tuk. Keberikan jeda sedikit, lalu kembali mengetuk. Tuk tuk.. belum selesai ketukan ketiga, pintu bergeser sedikit lalu muncullah sosok yang kurindukan.
“Cari siap…a?” kata-kata ibu sempat terhenti melihat kedatanganku, lalu dengan cepat memeluk tubuhku, aku pun membalas pelukannya dengan hangat.
“Ohh Malik anakku, dari mana saja kau nak? Ohh anakku”
            Aku tak menjawab. Masih ku nikmati pelukan hangat ibu yang selama ini kurindukan. Beberapa detik pelukan terlepas lalu saling tatap. Ibu mempersilahkan duduk. Aku menaruh barang, manut. Belum sempat bercakap dengan ibu, Iksan muncul di depan rumah masih dengan cangkul dipundak dan parang di pinggul. Rupa-rupanya ia baru saja dari sawah. Tergopoh aku menghampirinya. Namun, apa yang terjadi, Iksan tiba-tiba menghantamkan parang ke tubuhku.
Aku tak berkutik, rasa sakit dan rasa kaget bercampur jadi satu. Sayup-sayup kudengar ibu histesris.
“Kanapa kau pulang? pergi saja kau dari sini! bapak mati gara-gara kau” Iksan berkata sambil menunjuki aku yang bersimbah darah.
“Dendam ka’ sama kau daeng, nupakasiri ka’ nipakkanaia saribattang palukka
Aku hanya bisa bergumam. Tak mampu lagi aku bersuara. Oh adikku maafkan aku, aku sangat menyesal akan kejadian itu. Jika saja mampu kuulang waktu, aku tak akan melakukannya. Aku kembali dengan harapan kau mau menerimaku tapi ternyata tidak. Mungkin ini saatnya aku harus pulang. Benar-benar pulang. Bukan di rumah ini, tapi pulang ke tempat asalku berada. Berharap aku bisa menemui bapak. Mungkin inilah arti kerinduan di tanah rantau sana, rindu yang harus segera di tuntaskan. Rindu dari tanah rantau.
“Bapak… bapak… tunggu aku bapak”.

Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku Biografi Lafran Pane - Ahmad Fuadi

Resensi : The Idiots Kisah Tiga Mahasiswa Konyol

Catatan Bedah Film Kala Benoa