Lahir, Berjuang, lalu Mati
Dilahirkan bunkanlah
sebuah pilihan. Dilahirkan adalah sebuah keniscayaan, sebuah anugrah dari sang
pencipta, walau kita tidak bisa bebas memilih. Kita tumbuh dari dua sel berbeda
menjadi satu kesatuan utuh. Berkembang menjdai ribuan bahkan menjadi milyaran
sel membentuk raga. Tulang dibungkus daging, daging dibalut kulit dengan
selimut rambut-rambut halus yang menghias tubuh.
Tahun demi tahun berganti sejak dilahirkan. Kita tumbuh menjadi anak yang dipenuhi rasa ingin tahu. Bertanya tentang ini, bertanya tentang itu, hingga rasa ingin tahu kita terpuaskan. Walau kadang tak diperldulikan sebab pertanyaan kita dianggap terlalu sepele oleh orang tua-tua. Inilah fase pertama dari berjuang, belajar.
Kita sudah banyak tahu, dari proses berjuang mencari ilmu
pengetahuan. Dimulai dari bangku sekolah formal dengan secarik kertas yang jadi
bukti, dan di sekolah kehidupan dengan sikap budi pekerti yang jadi bukti.
Lantas pertanyaan selanujutnya ialah, untuk apa semua ilmu pengetahuan itu ?
Seorang pernah berkata bahwa ilmu pengetahuan itu untuk diamalkan dengan cara
bekerja sesuai apa yang diketahui. Ada pula yang berkata begini, ilmu itu
digunakan untuk berkarya, mencipta sesuatu yang bisa berguna bagi maslahat
orang banyak. Inilah fase kedua dari berjuang, bekerja dan berkarya.
Fase terakhir dari
berjuang ialah beribadah. Setelah berjuang meraih ilmu, bekerja dan berkarya
untuk orang banyak, kita mesti berserah diri kepada Sang Pencipta, agar tak
termakan nafsu dunia yang hanya memperturutkan syahwat belaka. inilah
perjuangan terberat bagi semua manusia, beribadah dengan dengan iklhas sebagai
hamba sahaya yang tahu berterima kasih atas segala nikmat telah diberi.
Setelah itu apa lagi ?
jawabnya tidak ada lagi. Mati. Kembali kepadaNya dan mempertanggungjawabkan apa
yang telah dilakukan di dunia. menghadap kepada sang pencipta yang telah
memberikan anugrah luar biasa berupa kehidupan dunia dan akhirat.
Demikianlah kita
menempuh hidup ; lahir, berjuang, lalu mati.
*judul dan kalimat ini saya ambil dari
Buya Hamka dalam buku Falsafah Hidup
Comments
Post a Comment